Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

mu'tazilah pramihnah dan pasca mihnah

Pendahuluan Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa aliran lainnya seperti kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya mereka (baca: aliran Mu’tazilah) banyak menggunakan kekuatan akal sehingga mereka sering dijuluki “ Kaum Rasionalis Islam ”. Menurut paham Mu’tazilah jika Al-Qur’an memiliki sifat qadim , maka akan menimbulkan adanya zat yang qadim selain Tuhan. Hal ini berarti menduakan Tuhan ( Syirik ). Syirik adalah dosa besar dan tidak dapat diampuni Tuhan. Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang dekat, bahkan bisa dikatakan berafiliasi, dengan kekuasaan dinasti Bani Abbasyiah fase pertama. Karena dekatnya, pada masa pemerintahan Al-Makmun (198 H – 218 H/813 M – 833 M). Mu’tazilah dijadikan madzhab resmi yang dianut oleh negara. Dengan posisi ini mereka memaksakan paham dan keyakinannya kepada golongan lain dengan menggunakan kekuatan yang mengaibatk

pemikiran nurrudin ar Raniri dalam kiab bustan Assalatin

Latar belakang masalah Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, politikus sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama dan salah satu karya monumentalnya adalah Bustan As Salatin yang membahas tentang sejarah dan politik. [1] Kitab ini mulai ditulis kurang setahun setelah Syekh Nuruddin berada di Aceh, tepatnya 4 Maret 1638, atas permintaan Sultan Iskandar Tsani. [2] Tujuannya ambisius, karena karangan ini ditulis dengan maksud sebagai monografi lengkap yang bersifat keagamaan dan sekaligus sejarah. Dalam manuskrip Raffles Malay 8, yang tersimpan di Royal Asiatic Society London, disebutkan oleh pengarangnya pada halaman 4: “Wa sammaituhu Bustan AL-