mu'tazilah pramihnah dan pasca mihnah


Pendahuluan

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa aliran lainnya seperti kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya mereka (baca: aliran Mu’tazilah) banyak menggunakan kekuatan akal sehingga mereka sering dijuluki “Kaum Rasionalis Islam”. Menurut paham Mu’tazilah jika Al-Qur’an memiliki sifat qadim, maka akan menimbulkan adanya zat yang qadim selain Tuhan. Hal ini berarti menduakan Tuhan (Syirik). Syirik adalah dosa besar dan tidak dapat diampuni Tuhan.
Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang dekat, bahkan bisa dikatakan berafiliasi, dengan kekuasaan dinasti Bani Abbasyiah fase pertama. Karena dekatnya, pada masa pemerintahan Al-Makmun (198 H – 218 H/813 M – 833 M). Mu’tazilah dijadikan madzhab resmi yang dianut oleh negara. Dengan posisi ini mereka memaksakan paham dan keyakinannya kepada golongan lain dengan menggunakan kekuatan yang mengaibatkan timbulnya suatu peristiwa yang terkenal dengan nama ”Peristiwa Qur’an”.
Pada masa pemerintahan inilah banyak alim ulama, para hakim, muhadditsin, dan pemuka-pemuka masyarakat, dipaksa untuk mengikuti paham aliran Mu’tazilah. Ishaq Ibn Ibrahim sebagai Gubernur Abbasiah di Baghdad yang mendapat instruksi dari khalifah untuk mengadakan ujian terhadap mereka itu, tentang apakah Al-Qur’an itu qadim ataukah makhluk. Sehingga timbul dalam sejarah Islam apa yang disebut mihnah atau inquisition.


Pembahasan
Mu’tazilah Pra Mihnah Dan Pasca Mihnah
  1. Sejarah lahirnya Mu’tazilah
  Mu’tazilah yang berasal dari bahasa Arab اعتزل)) berarti : menjauhkan, mengenyampingkan atau memisahkan[1]
Sedang penamaan Mu’tazilah yang menggambarkan asal usulnya terdapat perbedaan pendapat :
           Al Syahrastani menjelaskan bahwa nama Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘ Atho dengan teman-temannya ‘Amr bin Ubaid. Keduanya dikenal sebagai pengikut pengajian Hasan Basri yang setia, tetapi pada suatu hari datang salah seorang menanyakan tentang kedudukan pelaku dosa besar. Hasan Basri baru berpikir, tiba-tiba Washil bin ‘Atho mengemukakan pandangannya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya. Setelah itu ia meninggalkan pengajian, maka Hasan Basri mengatakan bahwa Washil bin ‘Atho menjauhkan diri dari kita (I’tazala) dan pengikutnya dinamakan Mu’tazilah[2]
            Al Baghdadi menambahkan bahwa bukan masalah dosa besar saja Mu’tazilah berbeda pendapat dengan gurunya, tetapi juga masalah qadar, sehingga memisahkan diri dan membentuk pengajian sendiri. Al Mas’udi mengemukakan pendapat yang sama bahwa mereka disebut kaum Mu’tazilah karena pendapatnya yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar berada pada posisi di antara mukmin dan kafir (al-manzilat baina manzilatain).[3] Kemudian Jarallah memperkuat dengan mengemukakan bahwa pendapat Mu’tazilah tentang pelaku dosa besar bukan kafir mutlak dan bukan pula mukmin mutlak, melainkan fasik.[4]
Ahmad Amin mengemukakan:
a.   Dikatakan Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya
b.  Disebut Mu’tazilah karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang-orang terdahulu mengenai kedudukan pelaku dosa besar
c.   Nama Mu’tazilah diberikan kepadanya karena pendapatnya yang keluar dari apa yang dianut oleh sebagian besar kaum muslimin tentang pelaku dosa besar
d.  Nama Mu’tazilah sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun sebelum peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya Hasan Basri. Nama tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mau terlibat pada pertikaian antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bin Abi Thalib.[5]
Tampaknya Ahmad Amin membagi dua kelompok aliran Mu’tazilah, kelompok pertama bercorak teologi, yakni terlibat dalam pembahasan mengenai pokok-pokok ajaran agama berdasarkan pemikiran, sementara kelompok kedua bercorak politik. Meskipun demikian, baik kelompok pertama maupun kelompok kedua berarti memisahkan diri karena tidak termasuk dalam kelompok yang ada pada masanya.
Pandangan Ahmad Amin tentang kelompok  Mu’tazilah kedua ada kemiripan dengan pandangan Orientalis, yaitu Nallino, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa Mu’tazilah tidak mengandung pengertian memisahkan diri dari umat Islam lainnya, tetapi merupakan golongan yang mempunyai pandangan yang bersifat netral antara pandangan Khawarij dan Murji’ah. Di samping itu, antara kelompok Mu’tazilah pertama dengan kedua merupakan satu rangkaian.
Berbeda dengan pandangan Goldziher yang dikutip oleh Fazlur Rahman bahwa Mu’tazilah tidak suka terlibat dalam pertentangan apapun, sehingga nama Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab berarti absen dari, menjadi netralis, berada di sisi, menunjukkan kepada sifat mereka yang salah dan tidak suka ikut campur dalam pertentangan pendapat.
Golongan lain menamakan Mu’tazilah dengan Mu’attilah karena menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan Ahli Keadilan dan Keesaan ( Ahlu al Adl wa Al Tauhid)[6]

  1. Pemikiran atau ajaran pokok  Mu’tazilah
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaqi) alran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap sudah keluar dari Islam.[7] Meskipun terpecah-pecah, namun semuanya masih tergabung dalam al-Ushul al-Khamzah (lima ajaran dasar), yaitu:
1.      At-Tawhid (ke-Esa-an)
At-Tawhid dalam pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam.[8] Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid, karena ereka berusaha seaksimal mungkin mempertahankan prinsip keTauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim, dan bisa menghindari serangan dari agama dualise dan Tritinas.[9]
Tauhid dari golongan Mu’tazilah adalah:
  • Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan itu qadim brati Allah itu berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Maha Esa.
  • Mereka “menafikan” meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.
  • Allah bersifat ‘Alimin, Qadarin, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demikian, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
  • Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
  • Mereka menolak aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
  • Tuhan itu bukan benda bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
2.      Al-Adlu (keadilan)
Manusia adalah merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya. Apabila perbuatan itu baik, maka Tuhan memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah jelas, siksaan dari Tuhan yang didapat. Inilah yang mereka maksud keadilan.[10]
Lebih jauhnya tentang keadilan, mereka berpendapat:
  • Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
  • Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
  • Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
  • Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
  • Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
  • Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qadrat dan Iradat.
3.      Al-Wa’du  wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya ialah:
  • Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum bertaubat ia tidak akan mendapat ampunan dari Tuhan.
  • Di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).
  • Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
4.      Al-Manzilah bainal Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagai diuraikan terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat diantara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka.[11] Doktrin ini oleh sebagian teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab tidak terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah dan keadaan tempat tersebut.[12]

5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan batin dan dengan dasar itu pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam, sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah berpegang kepada Al-Hadist yang artinya: “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”.
  1. Sekilas rentang peristiwa mihnah
Setelah aliran Mu’tazilah menjadi mazhab resmi negara pada masa pemerintahan al-Makmun (dari Bani Abbas), persoalan teologi lebih cepat berkembang bila dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya. Terutama setelah ia mempunyai majlis diskusi untuk membahas masalah tesebut. Oleh karena itu wajarlah bila ia lebih mendalam dalam memahaminya. Salah satu pendirian yang ditonjolkan adalah kemakhlukan al-Qur’an, tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Paham adanya yang qadim disamping Tuhan bagi kaum Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan syirik adalah dosa yang terbesar dan tidak dapat diampuni oleh Tuhan. Menurut pendapat al-Makmun orang yang mempunyai paham syirik tidak boleh dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintah.[13]
Meskipun paham kemakhlukan al-Qur’an disebarluaskan oleh al-Makmun pada tahun 212 H/827 M ke seluruh wilayah pemerintahannya dengan suatu motif, yakni apabila khalifah telah mengeluarkan fatwa, yang terutama ditujukan kepada ulama dan fuqaha al-ummat, dapat dipastikan mereka menyetujui fatwa tersebut. Akan tetapi justru sebaliknya ada yang berani mengkritik pemerintah terhadap apa yang di fatwakannya itu. Diantara mereka ada yang berpendapat khalifah telah berbuat bid’ah, bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa barang siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk, maka ia kafir.[14] Dari peristiwa ini timbul perbedaan pendapat yang berkepanjangan antara khalifah dengan masyarakat. Terutama dengan para hakim, beberapa ulama ahli hadis dan fuqaha yang diwarnai oleh situasi penuh ketegangan dan saling mengkafirkan sesama orang Islam.
  1. Mu’tazilah Pra Mihnah
Sejak peristiwa Wadil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri itulah istilah Mu’tazilah (dalam stigma teologis) mulai dipergunakan. Setelah memisahkan diri dari forum Hasan al-Basri, maka Wasil bin Atha’ membentuk kelompok diskusi sendiri dan mengajarkan kepadanya doktrin teologis terutama manzilah bain al-manzilatain, sebuah pandangan mengenai status muslim pelaku dosa yang tentu tidak sejalan dengan Hasan al-Basri; Wasil bin Atha’ dan para pengikutnya itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Mu’tazilah.
Al-Bagdadi dan asy-Syahrastani dalam ujung riwayatnya menegaskan bahwa sejak peristiwa antara Wasil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri itulah kelompok atau pengikut Wasuk bin Atha’ dinamakan sebagai Mu’tazilah. Peristiwa itu terjadi di Basrah—karena memang pada saat itu Wasil dan al-Basri tinggal di Basrah—pada abad ke-2 H, ketika kekuasaan politik dunia Islam berada di bawah kendali dinasti Umawi, tepatnya masa pemerintahan Hisyam bin Malik (101-125 H). Dengan demikian dapat diketahui bahwa Mu’tazilah, mazhab teologis yang diarsiteki oleh Wasil bin Atha’, lahir di kota Basrah abad ke-2 H pada masa dinasi Umawi.
Sebagai seorang pemikir atau Mutakallin (teolog Muslim), Wasil tergolong produktif dalam aktivitas tulis menulis. Ibn Nazim dalam fahrasatnya, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Badawi, telah mengagendakan tidak kurang dari sepuluh buah karya intelektual yang telah dituliskan oleh Wasil bin Atha’. Diantara karya-karya intlektual Wasil bin Atha’ itu adalah: Kitab al-Asnaf al-Murji’ah, at-taubah, al-Manzilah bain al-Manzilatain, Ma’ani al-Qur’an, Khutbah fi at-tauhid wa al-‘Adl, Ma jara Bainahu wa Baina Umar bin Ubaid, Sabil Ila Ma’rifah al-haqq, Da’wah, dan Kitab Tabaqat Ahl al-Iha wa al-Jahl.
Mu’tazilah memang muncul pada maas bain Um,ayah, tepatnya di akhir kekuasaan binasi Umayah, tetapi pemikiran teologisnya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan bain Abbasiah periode pertama (132 H/750 M-232 H/847 M). Pemikiran teologis Washil bin Atha’ , sebagai dijelaskan di atas, makin diperjelas dan disempurnakan oleh para muridnya, terutama Abu Hudzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan an-Nazzam (185-221 H/801-835 M), sehingga keberadaannya semakin menemuka bentuk atau format yang baku. Hal ini setidaknya disebabkan oleh faktor berikut ini. Pertama, terjadinya kontak umat Islam dengan pemikiran rasiional Yunani, lebih-lebih setelah aktivitas penterjemahan karya-karya Yunani itu di masa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun; dan kedua, adanya serangan terhadap kepercayaan Islam oleh musuh-musuh Islam denan menggunakan filsafat sebagai alatnya. Pada gilirannya latar belakanga yang demikian ini memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran teologis mu’tazilah yang bersifat khas.[15]

  1. Mu’tazilah Pasca Mihnah
Setelah al-Watsiq meninggal pada tahun 232 H dan digantikan oleh saudaranya al-Mutawakkil (232 – 247 H/842 – 847 M). paham Khalifah ini berbeda dengan paham khalifah-khalifah sebelumnya. Ia adalah seorang sunni. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ia menghentikan mihnah dan melarang terhadap siapapun yang membicarakan kemakhlukan al-Qur’an. Ia mendapat sanjungan yang tinggi dari rakyatnya, yang tidak sepaham dengan paham Mu’tazilah. Dan ia dianggap oleh mereka sebagai orang yang telah menghidupkan kembali Sunnah Nabi.
Munculnya Ahlu Sunnah dalam tampuk pimpinan kekhalifahan, pertanda berakhirnya mihnah sebagai usaha dalam menanamkan paham kemakhlukan al-Qur’an yang dianut kaum Mu’tazilah. Aliran Mu’tazilah hanya mampu bertahan sebagai mazhab resmi negara selama 34 tahun saja lalu digantikan oleh aliran sunni kembali. Ahli Sunnah mendapat kebebasan kembali untuk mengembangkan paham dan ajaran yang mereka anut, namun sebaliknya kaum Mu’tazilah kehilangan simpati orang banyak, terutama di kalangan rakyat umum yang tidak menyelami ajaran mereka yang bersifat rasional dan filosofis.
Dengan berakhirnya paham Mu’tazilah ini ternyata membawa dampak negatif bagi kemajuan umat Islam: Fuqaha’, Muhaddisin, ulama Ilmu Kalam dan ulama-ulama lainnya, terdampar ke dalam suasana kejumudan berfikir dan taqlid buta yang tidak dapat dibenarkan oleh tuntutan ajaran agama. Tepatlah apa yang dikatakan Ahmad Amin bahwa hilangnya aliran Mu’tazilah merupakan bencana terbesar bagi kaum muslimin.[16]
Peristiwa mihnah yang digagas oleh tokoh Mu’tazilah dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di masa itu ternyata menjadi bumerang bagi Mu’tazilah. Mihnah yang sebenarnya lebih dimaksudkan untuk makin memperkuat dominasi dan mengingkatkan popuilaritas mu’tazilah, ternyata justru semakin memperpuruk posisi Mu’tazilah dan sebagai titik awal bagi kemundurannya. Tindakan politisasi kekauasaan untuk memaksakan faham Mu’tazilah, terutama faham kemakhlukan al-Qur’an, kepada para pejabat dan tokoh masysarakat masa itu, bahkan diikuti dengn kekerasan dan penyiksaan terutama terhadap fuqaha’ dam ahli hadis, telah memperburuk citra Mu’tazilah dan sebaliknya mengundang mnculnya simpati terhadap fuqaha’ dan dan ahli hadis. Mu’tazilah menuai banak kecaman keras dari banyak kalangan, terutama dari fuqaha’ dan ahli hadis, sehingga keberadaan Mu’tazilah semakin ditinggalkan oleh masyarakat.[17]













Penutup

Simpulan
Mu’tazilah memang muncul pada maas bain Um,ayah, tepatnya di akhir kekuasaan binasi Umayah, tetapi pemikiran teologisnya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan bain Abbasiah periode pertama (132 H/750 M-232 H/847 M). Pemikiran teologis Washil bin Atha’ , sebagai dijelaskan di atas, makin diperjelas dan disempurnakan oleh para muridnya, terutama Abu Hudzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan an-Nazzam (185-221 H/801-835 M), sehingga keberadaannya semakin menemuka bentuk atau format yang baku. Hal ini setidaknya disebabkan oleh faktor berikut ini. Pertama, terjadinya kontak umat Islam dengan pemikiran rasiional Yunani, lebih-lebih setelah aktivitas penterjemahan karya-karya Yunani itu di masa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun; dan kedua, adanya serangan terhadap kepercayaan Islam oleh musuh-musuh Islam denan menggunakan filsafat sebagai alatnya. Pada gilirannya latar belakanga yang demikian ini memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran teologis mu’tazilah yang bersifat khas.
Mu’tazilah adalah aliran teologi dan filsafat dalam Islam yang sangat mementingkan akal (rasional). Secara falsafi dan Qur’ani, paham kemakhlukan al-Qur’an sulit untuk diterima oleh kebanyakan orang, Paham ini terbatas bagi kaum intelek dan ilmuan.  Gerakan mihnah sebagai usaha dalam menanamkan paham kemakhlukan al-Qur’an adalah sebagai manifestasi dari ajaran al-tauhid dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar dalam ajaran pokok Mu’tazilah dalam peristiwa Al Mihnah ini banyak golongan ulama yang menjadi tumbal dari peristiwa Al Mihnah. Setelah peristiwa Al Mihnah dan ketika periode pemerintahan di gantikan al-Mutawakkil (232 – 247 H/842 – 847 M) maka mu’tazilah pun mengalami kemunduran.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Faris Ibn Zakariyah, Abi al Husayn, Maqayis Al Lughah, Juz VII Beirut; Daar al Fikr, t. Th
Amin, Ahmad,  Fajr al Islam, Singapura; Sulaiman Mara’i, 1965.
Gibb, H.A.R , Schorter Encyclopedia of Islam, London; Lucaz & CO, 1961.
Hanafi, Ahmad.Theology Islam, Bulan Bintang:Jakarta, 1974.
H, Zainuddin.Ilmu Tauhid Lengkap,  Rineka Cipta:Jakarta, 1996.
Jarallah, Zuhdi, al Mu’tazilah, Beirut; al Ahliyat li al- Nasyr wa al Tawzi’, 1974.
Klein, F.A The Religion of Islam, New Delhi; Cosmo Publication, 1978.
Lihat al Syahrastany, al Milal wa al Nihal, Jilid I Mesir; Maktabah wa Mathba’at al Halab,1967.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, t.t.,
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.Yogyakarta.
http://aixs-foo.blogspot.com/2012/01/mutazilah.html










[1] Abi al Husayn Ahmad bin Faris Ibn Zakariyah, Maqayis Al Lughah, Juz VII (Beirut; Daar al Fikr, t. th)., hal 307.
[2] Lihat al Syahrastany, al Milal wa al Nihal, Jilid I (Mesir; Maktabah wa Mathba’at al Halab,1967)., hal 48.
[3] H.A.R Gibb, Schorter Encyclopedia of Islam, ( London; Lucaz & CO, 1961)., hal 421.
[4] Zuhdi Jarallah, al Mu’tazilah, (Beirut; al Ahliyat li al- Nasyr wa al Tawzi’, 1974), hal 54.
[5] Lihat Ahmad Amin, Fajr al Islam, (Singapura; Sulaiman Mara’i, 1965)., hal 289-290. 
[6] Lihat F.A Klein, The Religion of Islam, New Delhi; Cosmo Publication, 1978,  hal 229.
[7] Hanafi,Ahmad.Theology Islam, Bulan Bintang:Jakarta, 1974, hal 42
[8] Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.Yogyakarta, hal-92.
[9] H, Zainuddin.Ilmu Tauhid Lengkap,  Rineka Cipta:Jakarta, 1996, hal 54
[10] H, Zainuddin.Ilmu Tauhid Lengkap,  Rineka Cipta:Jakarta, 1996, hal 54
[11]H, Zainuddin.Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta:Jakarta, 1996, hal-54
[12] Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.Yogyakarta,.2005, hal 94

[13] Harun Nasution, Teologi Islam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, t.t.,hal 61
[14] Ibid, hal 62
[15] http://aixs-foo.blogspot.com/2012/01/mutazilah.html
[16] A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Penrebit Pustaka A-Husna, Jakarta, 1992, hal. 102
[17] http://aixs-foo.blogspot.com/2012/01/mutazilah.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOGRAFI KONTEMPORER DAN PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI

Santo Agustinus Filsafat Sejarah

ekonomi islam pada masa Abu Bakar