mu'tazilah pramihnah dan pasca mihnah
Pendahuluan
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa
aliran lainnya seperti kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya mereka
(baca: aliran Mu’tazilah) banyak menggunakan kekuatan akal sehingga mereka
sering dijuluki “Kaum Rasionalis Islam”.
Menurut paham Mu’tazilah jika Al-Qur’an memiliki sifat qadim, maka akan
menimbulkan adanya zat yang qadim selain Tuhan. Hal ini berarti menduakan Tuhan (Syirik). Syirik
adalah dosa besar dan tidak dapat diampuni Tuhan.
Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang dekat, bahkan
bisa dikatakan berafiliasi, dengan kekuasaan dinasti Bani Abbasyiah fase
pertama. Karena dekatnya, pada masa pemerintahan Al-Makmun (198 H – 218 H/813 M
– 833 M). Mu’tazilah dijadikan madzhab resmi yang dianut oleh negara. Dengan
posisi ini mereka memaksakan paham dan keyakinannya kepada golongan lain dengan
menggunakan kekuatan yang mengaibatkan timbulnya suatu peristiwa yang terkenal
dengan nama ”Peristiwa Qur’an”.
Pada masa pemerintahan inilah banyak alim ulama, para
hakim, muhadditsin, dan pemuka-pemuka masyarakat, dipaksa untuk
mengikuti paham aliran Mu’tazilah. Ishaq Ibn Ibrahim sebagai Gubernur Abbasiah
di Baghdad yang mendapat instruksi dari khalifah untuk mengadakan ujian
terhadap mereka itu, tentang apakah Al-Qur’an itu qadim ataukah makhluk.
Sehingga timbul dalam sejarah Islam apa yang disebut mihnah atau inquisition.
Pembahasan
Mu’tazilah Pra
Mihnah Dan Pasca Mihnah
- Sejarah lahirnya Mu’tazilah
Mu’tazilah yang
berasal dari bahasa Arab اعتزل)) berarti :
menjauhkan, mengenyampingkan atau memisahkan[1]
Sedang penamaan Mu’tazilah
yang menggambarkan asal usulnya terdapat perbedaan pendapat :
Al Syahrastani menjelaskan bahwa nama Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa
Washil bin ‘ Atho dengan teman-temannya ‘Amr bin Ubaid. Keduanya dikenal
sebagai pengikut pengajian Hasan Basri yang setia, tetapi pada suatu hari
datang salah seorang menanyakan tentang kedudukan pelaku dosa besar. Hasan
Basri baru berpikir, tiba-tiba Washil bin ‘Atho mengemukakan pandangannya bahwa
orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin, melainkan
berada di antara keduanya. Setelah itu ia meninggalkan pengajian, maka Hasan
Basri mengatakan bahwa Washil bin ‘Atho menjauhkan diri dari kita (I’tazala)
dan pengikutnya dinamakan Mu’tazilah[2]
Al Baghdadi
menambahkan bahwa bukan masalah dosa besar saja Mu’tazilah berbeda pendapat
dengan gurunya, tetapi juga masalah qadar, sehingga memisahkan diri dan
membentuk pengajian sendiri. Al Mas’udi mengemukakan pendapat yang sama bahwa
mereka disebut kaum Mu’tazilah karena pendapatnya yang mengatakan bahwa orang
yang berdosa besar berada pada posisi di antara mukmin dan kafir (al-manzilat
baina manzilatain).[3]
Kemudian Jarallah memperkuat dengan mengemukakan bahwa pendapat Mu’tazilah
tentang pelaku dosa besar bukan kafir mutlak dan bukan pula mukmin mutlak,
melainkan fasik.[4]
Ahmad Amin mengemukakan:
a. Dikatakan Mu’tazilah didasarkan
pada peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya
b. Disebut Mu’tazilah karena mempunyai
pandangan yang berbeda dengan orang-orang terdahulu mengenai kedudukan pelaku
dosa besar
c. Nama Mu’tazilah diberikan
kepadanya karena pendapatnya yang keluar dari apa yang dianut oleh sebagian
besar kaum muslimin tentang pelaku dosa besar
d. Nama Mu’tazilah sebenarnya sudah dikenal
beberapa tahun sebelum peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya Hasan Basri.
Nama tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mau terlibat pada pertikaian
antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bin Abi Thalib.[5]
Tampaknya
Ahmad Amin membagi dua kelompok aliran Mu’tazilah, kelompok pertama bercorak
teologi, yakni terlibat dalam pembahasan mengenai pokok-pokok ajaran agama
berdasarkan pemikiran, sementara kelompok kedua bercorak politik. Meskipun
demikian, baik kelompok pertama maupun kelompok kedua berarti memisahkan diri karena
tidak termasuk dalam kelompok yang ada pada masanya.
Pandangan Ahmad Amin tentang
kelompok Mu’tazilah kedua ada kemiripan dengan pandangan Orientalis,
yaitu Nallino, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa Mu’tazilah tidak
mengandung pengertian memisahkan diri dari umat Islam lainnya, tetapi merupakan
golongan yang mempunyai pandangan yang bersifat netral antara pandangan
Khawarij dan Murji’ah. Di samping itu, antara kelompok Mu’tazilah pertama
dengan kedua merupakan satu rangkaian.
Berbeda dengan pandangan
Goldziher yang dikutip oleh Fazlur Rahman bahwa Mu’tazilah tidak suka terlibat
dalam pertentangan apapun, sehingga nama Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab
berarti absen dari, menjadi netralis, berada di sisi, menunjukkan kepada sifat mereka
yang salah dan tidak suka ikut campur dalam pertentangan pendapat.
Golongan lain menamakan
Mu’tazilah dengan Mu’attilah karena menafikan sifat-sifat Tuhan, tetapi mereka
sendiri menamakan dirinya dengan Ahli Keadilan dan Keesaan ( Ahlu al Adl wa
Al Tauhid)[6]
- Pemikiran atau ajaran pokok Mu’tazilah
Menurut Al-Bagdady
dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaqi) alran Mu’tazilah terpecah-pecah
menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap sudah keluar dari Islam.[7]
Meskipun terpecah-pecah, namun semuanya masih tergabung dalam al-Ushul
al-Khamzah (lima ajaran dasar), yaitu:
1.
At-Tawhid (ke-Esa-an)
At-Tawhid dalam
pandangan Mu’tazilah berarti meng-Esa-kan Allah dari segala sifat dan af’alnya
yang menjadi pegangan bagi akidah Islam.[8]
Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid, karena ereka berusaha seaksimal
mungkin mempertahankan prinsip keTauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah
yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim, dan bisa menghindari serangan dari
agama dualise dan Tritinas.[9]
Tauhid dari golongan Mu’tazilah adalah:
- Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan itu qadim brati Allah itu berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Maha Esa.
- Mereka “menafikan” meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.
- Allah bersifat ‘Alimin, Qadarin, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demikian, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
- Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
- Mereka menolak aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
- Tuhan itu bukan benda bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
2. Al-Adlu
(keadilan)
Manusia adalah
merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan
itulah manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya. Apabila
perbuatan itu baik, maka Tuhan memberi kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek
atau salah jelas, siksaan dari Tuhan yang didapat. Inilah yang mereka maksud
keadilan.[10]
Lebih jauhnya tentang keadilan, mereka berpendapat:
- Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
- Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
- Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
- Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
- Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
- Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qadrat dan Iradat.
3.
Al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang
oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia
dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar
tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya
ialah:
- Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum bertaubat ia tidak akan mendapat ampunan dari Tuhan.
- Di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).
- Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
4. Al-Manzilah bainal
Manzilataini (tempat diantara dua tempat)
Sebagai diuraikan
terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat diantara dua tempat yang dikemukakan
oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang
Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan
ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka.[11]
Doktrin ini oleh sebagian teolog dipandang membingungkan dan tidak jelas. Sebab
tidak terdapat penjelasan yang kongkrit dan riil tentang dasar yang digunakan
oleh Mu’tazilah dan keadaan tempat tersebut.[12]
5. Amar Ma’ruf Nahi
Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)
Dasar ini pada
kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan batin dan dengan dasar itu
pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam,
sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan
harus dibenarkan atau diluruskan”. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap
muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada
orang yang sesat. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah
berpegang kepada Al-Hadist yang artinya: “siapa diantaramu yang melihat
kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”.
- Sekilas rentang peristiwa mihnah
Setelah aliran Mu’tazilah menjadi mazhab resmi negara
pada masa pemerintahan al-Makmun (dari Bani Abbas), persoalan teologi lebih
cepat berkembang bila dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya.
Terutama setelah ia mempunyai majlis diskusi untuk membahas masalah tesebut.
Oleh karena itu wajarlah bila ia lebih mendalam dalam memahaminya. Salah satu
pendirian yang ditonjolkan adalah kemakhlukan al-Qur’an, tidak bersifat qadim,
tetapi baru dan diciptakan. Paham adanya yang qadim disamping Tuhan bagi
kaum Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik
dan syirik adalah dosa yang terbesar dan tidak dapat diampuni oleh Tuhan.
Menurut pendapat al-Makmun orang yang mempunyai paham syirik tidak boleh
dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintah.[13]
Meskipun paham
kemakhlukan al-Qur’an disebarluaskan oleh al-Makmun pada tahun 212 H/827 M ke
seluruh wilayah pemerintahannya dengan suatu motif, yakni apabila khalifah
telah mengeluarkan fatwa, yang terutama ditujukan kepada ulama dan fuqaha
al-ummat, dapat dipastikan mereka menyetujui fatwa tersebut. Akan tetapi
justru sebaliknya ada yang berani mengkritik pemerintah terhadap apa yang di
fatwakannya itu. Diantara mereka ada yang berpendapat khalifah telah berbuat bid’ah,
bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa barang siapa yang mengatakan
al-Qur’an makhluk, maka ia kafir.[14] Dari peristiwa ini timbul perbedaan pendapat yang
berkepanjangan antara khalifah dengan masyarakat. Terutama dengan para hakim,
beberapa ulama ahli hadis dan fuqaha yang diwarnai oleh situasi penuh
ketegangan dan saling mengkafirkan sesama orang Islam.
- Mu’tazilah Pra Mihnah
Sejak peristiwa
Wadil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri itulah istilah Mu’tazilah (dalam stigma
teologis) mulai dipergunakan. Setelah memisahkan diri dari forum Hasan
al-Basri, maka Wasil bin Atha’ membentuk kelompok diskusi sendiri dan
mengajarkan kepadanya doktrin teologis terutama manzilah bain al-manzilatain,
sebuah pandangan mengenai status muslim pelaku dosa yang tentu tidak sejalan
dengan Hasan al-Basri; Wasil bin Atha’ dan para pengikutnya itulah yang
kemudian dikenal dengan sebutan Mu’tazilah.
Al-Bagdadi dan
asy-Syahrastani dalam ujung riwayatnya menegaskan bahwa sejak peristiwa antara
Wasil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri itulah kelompok atau pengikut Wasuk bin
Atha’ dinamakan sebagai Mu’tazilah. Peristiwa itu terjadi di Basrah—karena
memang pada saat itu Wasil dan al-Basri tinggal di Basrah—pada abad ke-2 H,
ketika kekuasaan politik dunia Islam berada di bawah kendali dinasti Umawi,
tepatnya masa pemerintahan Hisyam bin Malik (101-125 H). Dengan demikian dapat
diketahui bahwa Mu’tazilah, mazhab teologis yang diarsiteki oleh Wasil bin
Atha’, lahir di kota Basrah abad ke-2 H pada masa dinasi Umawi.
Sebagai seorang
pemikir atau Mutakallin (teolog Muslim), Wasil tergolong produktif dalam
aktivitas tulis menulis. Ibn Nazim dalam fahrasatnya, sebagaimana dikutip oleh
Abdurrahman Badawi, telah mengagendakan tidak kurang dari sepuluh buah karya
intelektual yang telah dituliskan oleh Wasil bin Atha’. Diantara karya-karya
intlektual Wasil bin Atha’ itu adalah: Kitab al-Asnaf al-Murji’ah, at-taubah,
al-Manzilah bain al-Manzilatain, Ma’ani al-Qur’an, Khutbah fi at-tauhid wa
al-‘Adl, Ma jara Bainahu wa Baina Umar bin Ubaid, Sabil Ila Ma’rifah al-haqq,
Da’wah, dan Kitab Tabaqat Ahl al-Iha wa al-Jahl.
Mu’tazilah memang
muncul pada maas bain Um,ayah, tepatnya di akhir kekuasaan binasi Umayah,
tetapi pemikiran teologisnya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan
pada masa pemerintahan bain Abbasiah periode pertama (132 H/750 M-232 H/847 M).
Pemikiran teologis Washil bin Atha’ , sebagai dijelaskan di atas, makin
diperjelas dan disempurnakan oleh para muridnya, terutama Abu Hudzail al-Allaf
(135-235 H/752-849 M) dan an-Nazzam (185-221 H/801-835 M), sehingga
keberadaannya semakin menemuka bentuk atau format yang baku. Hal ini setidaknya
disebabkan oleh faktor berikut ini. Pertama, terjadinya kontak umat Islam dengan
pemikiran rasiional Yunani, lebih-lebih setelah aktivitas penterjemahan
karya-karya Yunani itu di masa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun; dan kedua, adanya
serangan terhadap kepercayaan Islam oleh musuh-musuh Islam denan menggunakan
filsafat sebagai alatnya. Pada gilirannya latar belakanga yang demikian ini
memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran teologis mu’tazilah yang bersifat
khas.[15]
- Mu’tazilah Pasca Mihnah
Setelah al-Watsiq
meninggal pada tahun 232 H dan digantikan oleh saudaranya al-Mutawakkil (232 –
247 H/842 – 847 M). paham Khalifah ini berbeda dengan paham khalifah-khalifah
sebelumnya. Ia adalah seorang sunni. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila
ia menghentikan mihnah dan melarang terhadap siapapun yang membicarakan
kemakhlukan al-Qur’an. Ia mendapat sanjungan yang tinggi dari rakyatnya, yang
tidak sepaham dengan paham Mu’tazilah. Dan ia dianggap oleh mereka sebagai
orang yang telah menghidupkan kembali Sunnah Nabi.
Munculnya Ahlu
Sunnah dalam tampuk pimpinan kekhalifahan, pertanda berakhirnya mihnah
sebagai usaha dalam menanamkan paham kemakhlukan al-Qur’an yang dianut kaum
Mu’tazilah. Aliran Mu’tazilah hanya mampu bertahan sebagai mazhab resmi negara
selama 34 tahun saja lalu digantikan oleh aliran sunni kembali. Ahli Sunnah
mendapat kebebasan kembali untuk mengembangkan paham dan ajaran yang mereka
anut, namun sebaliknya kaum Mu’tazilah kehilangan simpati orang banyak,
terutama di kalangan rakyat umum yang tidak menyelami ajaran mereka yang
bersifat rasional dan filosofis.
Dengan berakhirnya paham Mu’tazilah ini ternyata membawa
dampak negatif bagi kemajuan umat Islam: Fuqaha’, Muhaddisin,
ulama Ilmu Kalam dan ulama-ulama lainnya, terdampar ke dalam suasana kejumudan
berfikir dan taqlid buta yang tidak dapat dibenarkan oleh tuntutan ajaran
agama. Tepatlah apa yang dikatakan Ahmad Amin bahwa hilangnya aliran Mu’tazilah
merupakan bencana terbesar bagi kaum muslimin.[16]
Peristiwa mihnah
yang digagas oleh tokoh Mu’tazilah dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di
masa itu ternyata menjadi bumerang bagi Mu’tazilah. Mihnah yang sebenarnya
lebih dimaksudkan untuk makin memperkuat dominasi dan mengingkatkan
popuilaritas mu’tazilah, ternyata justru semakin memperpuruk posisi Mu’tazilah
dan sebagai titik awal bagi kemundurannya. Tindakan politisasi kekauasaan untuk
memaksakan faham Mu’tazilah, terutama faham kemakhlukan al-Qur’an, kepada para
pejabat dan tokoh masysarakat masa itu, bahkan diikuti dengn kekerasan dan
penyiksaan terutama terhadap fuqaha’ dam ahli hadis, telah memperburuk citra
Mu’tazilah dan sebaliknya mengundang mnculnya simpati terhadap fuqaha’ dan dan
ahli hadis. Mu’tazilah menuai banak kecaman keras dari banyak kalangan,
terutama dari fuqaha’ dan ahli hadis, sehingga keberadaan Mu’tazilah semakin
ditinggalkan oleh masyarakat.[17]
Penutup
Simpulan
Mu’tazilah memang
muncul pada maas bain Um,ayah, tepatnya di akhir kekuasaan binasi Umayah,
tetapi pemikiran teologisnya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan
pada masa pemerintahan bain Abbasiah periode pertama (132 H/750 M-232 H/847 M).
Pemikiran teologis Washil bin Atha’ , sebagai dijelaskan di atas, makin
diperjelas dan disempurnakan oleh para muridnya, terutama Abu Hudzail al-Allaf
(135-235 H/752-849 M) dan an-Nazzam (185-221 H/801-835 M), sehingga
keberadaannya semakin menemuka bentuk atau format yang baku. Hal ini setidaknya
disebabkan oleh faktor berikut ini. Pertama, terjadinya kontak umat Islam
dengan pemikiran rasiional Yunani, lebih-lebih setelah aktivitas penterjemahan
karya-karya Yunani itu di masa Harun ar-Rasyid dan al-Makmun; dan kedua, adanya
serangan terhadap kepercayaan Islam oleh musuh-musuh Islam denan menggunakan
filsafat sebagai alatnya. Pada gilirannya latar belakanga yang demikian ini
memberikan pengaruh terhadap corak pemikiran teologis mu’tazilah yang bersifat
khas.
Mu’tazilah adalah aliran teologi dan filsafat dalam Islam
yang sangat mementingkan akal (rasional). Secara falsafi dan Qur’ani, paham
kemakhlukan al-Qur’an sulit untuk diterima oleh kebanyakan orang, Paham ini
terbatas bagi kaum intelek dan ilmuan. Gerakan mihnah sebagai usaha dalam menanamkan
paham kemakhlukan al-Qur’an adalah sebagai manifestasi dari ajaran al-tauhid
dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar dalam ajaran pokok
Mu’tazilah dalam peristiwa Al Mihnah ini banyak golongan ulama yang menjadi
tumbal dari peristiwa Al Mihnah. Setelah peristiwa Al Mihnah dan ketika periode
pemerintahan di gantikan al-Mutawakkil (232 – 247 H/842 – 847 M) maka
mu’tazilah pun mengalami kemunduran.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad bin Faris Ibn Zakariyah, Abi al Husayn, Maqayis Al
Lughah, Juz VII Beirut; Daar al Fikr, t. Th
Amin,
Ahmad, Fajr al Islam, Singapura;
Sulaiman Mara’i, 1965.
Gibb, H.A.R , Schorter Encyclopedia
of Islam, London; Lucaz & CO, 1961.
Hanafi,
Ahmad.Theology Islam, Bulan Bintang:Jakarta, 1974.
H, Zainuddin.Ilmu Tauhid Lengkap, Rineka Cipta:Jakarta, 1996.
Jarallah,
Zuhdi, al Mu’tazilah, Beirut; al Ahliyat li al- Nasyr wa al Tawzi’,
1974.
Klein, F.A The Religion of Islam,
New Delhi; Cosmo Publication, 1978.
Lihat
al Syahrastany, al Milal wa al Nihal, Jilid I Mesir; Maktabah wa Mathba’at al
Halab,1967.
Nasution,
Harun, Teologi Islam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
t.t.,
Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.Yogyakarta.
http://aixs-foo.blogspot.com/2012/01/mutazilah.html
[1]
Abi al Husayn Ahmad bin
Faris Ibn Zakariyah, Maqayis Al Lughah, Juz VII (Beirut; Daar al Fikr,
t. th)., hal 307.
[2]
Lihat al Syahrastany, al Milal wa al Nihal, Jilid I (Mesir; Maktabah wa
Mathba’at al Halab,1967)., hal 48.
[3]
H.A.R Gibb, Schorter Encyclopedia of Islam, ( London; Lucaz &
CO, 1961)., hal 421.
[6]
Lihat F.A Klein, The Religion of Islam, New Delhi; Cosmo Publication,
1978, hal 229.
[13] Harun Nasution, Teologi Islam, Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, t.t.,hal 61
[14]
Ibid, hal 62
[15]
http://aixs-foo.blogspot.com/2012/01/mutazilah.html
[16] A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Penrebit Pustaka
A-Husna, Jakarta, 1992, hal. 102
[17] http://aixs-foo.blogspot.com/2012/01/mutazilah.html
Komentar
Posting Komentar