pemikiran nurrudin ar Raniri dalam kiab bustan Assalatin


  1. Latar belakang masalah
Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, politikus sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama dan salah satu karya monumentalnya adalah Bustan As Salatin yang membahas tentang sejarah dan politik.[1]
Kitab ini mulai ditulis kurang setahun setelah Syekh Nuruddin berada di Aceh, tepatnya 4 Maret 1638, atas permintaan Sultan Iskandar Tsani.[2] Tujuannya ambisius, karena karangan ini ditulis dengan maksud sebagai monografi lengkap yang bersifat keagamaan dan sekaligus sejarah. Dalam manuskrip Raffles Malay 8, yang tersimpan di Royal Asiatic Society London, disebutkan oleh pengarangnya pada halaman 4: “Wa sammaituhu Bustan AL-Salatin fi Dhikr al-Awwalin wa Akhirin. Dan dinamai faqir kitab ini Bustan AL-Salatin, ertinya, kebun segala raja-raja, dan menyatakan permulaan segala kejadian dan kesudahannya.”
Bahwa kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Iskandar Tsani, pada halaman 3 manuskrip tersebut disebutkan: “Dan kemudian dari itu pada tujuh puluh hari bulan Syawal, maka dititahkan yang maha mulia faqir dengan titah yang tiada dapat tiada menjunjung dia sultan mu`azzam yang hafan lagi murah, yang pertama besar martabat izzatnya, yaitu Sultan Iskandar Tsani `Ala al-Din Mughayat Syah Johan berdaulat zill Allah fi al-`alam. [3]
Banyak sekali kitab Melayu, Arab dan Persia dijadikan sumber data dan rujukan. Sumber kitab Melayu antara lain Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Hikayat Aceh, Hikayat Iskandar Dzulkarnain, Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu (Tun Sri Lanang), Hikayat Inderaputra, dan lain sebagainya. Sumber Arab dan Persi: (1) Kitab `Ajaib al-Malakut, karangan al-Kisa`i penulis Qisas al-Anbiya terkenal. Tentang kitab al-Kisa`i disebutkan dalam Bab II fasal I Bustan; (2) Kitab Daqa`iq al-Haqa`iq karangan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M); (3) Mirsad al-Ibad karangan sufi Persia dari Najamuddin Daya (wafat di Baghdad pada 654 H/1256 M). Dan banyak lagi.[4]
Naskah Bustan yang agak lengkap, dua di antaranya dimiliki oleh Royal Asiatic Society London, satu daripadanya adalah koleksi Raffles seperti telah disebutkan. Satu naskah yang tidak lengkap ada di Perpustakaan Nasional Perancis, terdaftar dalam katalog Cabaton (1912:217) dengan diberi keterangan: “ Bustanu`s Salatina…buku dua dari bab VII sampai akhir 1828. Tulisan Naskhi, kertas Eropa, 185 – 140 mm, 288 halaman, 13 baris”. Bab yang memaparkan Aceh diterbitkan oleh Niemann dalam Bloemlezing uit Maleische Geschriften (1907).
Naskah ini pernah diterbitkan oleh Wilkinson dua tahap. Yang pertama terbit pada 1899, yang kedua pada 1900, sedang penerbitnya Methodis Publishing House Singapura. Teks Jawi atau Arab Melayu dari naskah ini diterbitkan di Mekkah pada tahun 1311 H/1893 M.[5]
Bagian yang memaparkan keindahan taman dan gegunungan, yang akan dibahas sekarang, transkripsinya dalam huruf Latin diterbitkan oleh R. Hussein Djajadiningrat di bawah judul “De stichting van het Goenoengan geheeten monument te Kutaradja” . Banyak sarjana mengatakan bahwa Bustan ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj al-Salatin (1603) karangan Bukhari al-Jauhari yang dianggapnya belum lengkap.
Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda. Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.
Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.
Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal. Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Persia, Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang. Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee (penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.[6]
Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang cerdik cendekia, terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim Adham.
Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair dan kisah-kisah ajaib.[7]
Judul yang dipilih Nuruddin al-Raniri bagi karya adabnya sangat indah dan simbolik, sebab walaupun dalam Bab II fasal 13 terdapat uraian panjang lebar mengenai taman ghairah yang terdapat di kompleks istana Aceh, akan tetapi uraian itu hanya bagian kecil dari keseluruhan perkara yang ingin dipaparkan. Pemberian judul bustan yang artinya taman, bagi sebuah karangan sastra bukanlah hal baru dalam kesusastraan Islam, khususnya di Persia. Sa`di al-Syirasi, penyair sufi Persia abad ke-12/13 M mungkin termasuk penulis Muslim awal yang menggunakan judul itu untuk karya adabnya Bustan.
 Meskipun Nuruddin al-Raniri tidak secara tersurat menyebutkan bahwa kitab Sa`di itu menjadi salah satu rujukannya, namun bagi mereka yang membaca karya Sa’di setelah membaca Bustan AL-Salatin akan dapat memahami kaitan kedua buku tersebut. Dalam Bustan Sa’di dikatakan bahwa bunga, buah dan daun-daunan yang berguna sebagai obat dalam sebuah kebon adalah perumpamaan bagi pelajaran tentang adab, kearifan dan kebajikan dalam sebuah kitab.


[1] Musyirifah suananto, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada 2010. Hal 187
[2] Azyumardi Azra, Jaringan ulama Timur Tengah Dan Nusantara Abad XVII & XVIII,  edisi revisi .Jakarta: Kencana 2004. Hal 211

[3] Azyumardi Azra,  Jaringan ulama Timur Tengah Dan Nusantara Abad XVII & XVIII,  edisi revisi. Jakarta: Kencana 2004. Hal 205
[4]  Harun Mat Piah, dkk, Traditional Malay Literature, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002. Hal 60
[5]Jelani Harun,  Bustan al-Salatin: A Malay Mirror for Rulers, Penang: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2009, 352 pp. Hal 126
[6]Jelani Harun, Bustan al-Salatin: A Malay Mirror for Rulers, Penang: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2009, 352 pp. Hal 127
[7] Ibid. Hal 124

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOGRAFI KONTEMPORER DAN PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI

Santo Agustinus Filsafat Sejarah

ekonomi islam pada masa Abu Bakar