civil cociety
[envorum] Jalan Panjang Menuju "Civil Society"
Djuni Pristiyanto
Thu, 05 Jul 2001 20:32:10 -0700
http://kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm
>Jumat, 6 Juli 2001
Jalan Panjang Menuju "Civil Society"
Oleh Agus Muhammad
WACANA civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersamaan
dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Memasuki dekade
80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Ini tidak heran, karena pada dekade
tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang
sangat hegemonik yang ditandai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Wacana lain
di luar Pancasila ibarat barang haram yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi
dengan tindakan hukum yang represif. Kita tentu masih ingat dua orang muda di
Yogyakarta pada tahun 1987 yang ditangkap karena menjual dan mengedarkan buku-buku
Pramoedya Ananta Toer, yakni Bambang Isti Nugroho dan Bonar Tigor Naipospos, dengan
tuduhan subversif.Wacana civil society berhasil merebut perhatian publik, terutama
kalangan terpelajar, LSM, dan akademisi karena ia menjadi satu-satunya wacana
"perlawanan" terhadap kekuasaan yang otoriter. Sedangkan wacana lain yang lebih keras,
seperti wacana oposisi, sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskursus publik.
Dengan beralasan oposisi tidak sesuai dengan budaya bangsa, penguasa bukan saja
melarang oposisi dalam praktik politik, tetapi sebagai wacana juga tidak diberi hak
hidup. Itulah sebabnya, wacana civil society seolah-olah menjadi alternatif sebagai
wacana tandingan.
Karena itu pula, wacana civil society lebih dimaknai sebagai "masyarakat sipil" yang
diperhadapkan secara diametral dengan negara. Dari wacana civil society yang
berkembang di Tanah Air, penekanan makna oposisi terhadap negara nampak sangat
dominan. Padahal, wacana ini sebetulnya tidak semata-mata sebagai konsep yang secara
diametral berhadap-hadapan dengan negara, tetapi lebih menunjuk pada keadaan sosial di
mana masyarakat memiliki ciri-ciri kemandirian, kesukarelaan, kemampuan
mengorganisasikan diri untuk memperjuangkan kepentingannya, serta ketaatan terhadap
aturan main yang berupa hukum-hukum positif.
Kemandirian dan kemampuan mengorganisasikan diri mengandaikan suatu keadaan di mana
masyarakat memiliki tidak hanya kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa
tergantung kepada pemerintah, tetapi juga kesadaran politik untuk selalu ikut terlibat
dalam proses-proses politik melalui mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, khususnya
berkenaan dengan aturan-aturan publik yang secara langsung bersentuhan dengan mereka.
Perspektif inilah yang agaknya sangat dominan dalam wacana civil society selama dua
dekade terakhir ini. Sedangkan perspektif yang berkenaan dengan ciri ketiga, yakni
kepatuhan terhadap hukum seolah-olah terlepas dari wacana civil society. Padahal ciri
yang terakhir ini tidak kalah pentingnya bagi upaya penguatan civil society.
Pemaknaan civil society sebagai wacana yang berhadapan secara diametral dengan
kekuasaan sering kali kemudian diidentifikasikan pada kelompok-kelompok masyarakat
yang tidak terkooptasi oleh negara. Kelompok-kelompok masyarakat, terutama LSM serta
organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah, sering kali dianggap representasi dari
civil society, karena kelompok-kelompok ini relatif mandiri, otonom, dan tidak
tergantung pada pemerintah. Identifikasi semacam ini sebetulnya bisa dipahami-meski
masih bisa diperdebatkan- karena pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada
organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan. Organisasi dengan massa dan
keanggotaan yang luas seperti NU dan Muhammadiyah saja tidak sepenuhnya bisa dianggap
mandiri, otonom, dan steril dari intervensi negara. Bukan hanya karena organisasi itu
tidak mampu bersikap independen dan otonom, tetapi juga karena negara versi Orde Baru
adalah negara yang mengurusi hampir segala hal hingga yang paling pribadi seperti
dalam kasus KB. Bisa dipahami jika civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti
dalam kekuasaan Orde Baru.
***
SEBAGAI konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbuka
terhadap berbagai perkembangan, pemaknaan, dan penafsiran. Dicetuskan pertama kali
oleh Cicero-seorang filsuf Romawi-dengan gagasan cocieties civilis, civil society
berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu. Pada mulanya civil society
dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga. Dalam konteks
ini, civil society identik dengan negara. Hegel termasuk yang membolehkan negara
melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan
aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh
bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi, dan
politik.
Dalam sejarahnya kemudian, civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas
yang terpisah dari negara. Adalah Thomas Pain (1792) yang mulai memaknai civil society
dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis
negara.
Dalam teori-teori liberal, civil society dipahami sebagai prakondisi bagi pembentukan
kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya kontrol sosial untuk
mengawasi kekuasaan negara. Hak-hak terpenting pada civil society menurut teori-teori
liberal adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul
dan berserikat. Dalam civil society tidak diperjuangkan kepentingan privat atau
kepentingan kelas, tetapi kepentingan umum, di mana baik kepentingan perorangan maupun
kepentingan kelas sudah dianggap terwakili.
Namun, kelompok Marxis melihatnya justru sebagai bagian dari kelas borjuasi yang harus
dilawan. Dengan memosisikan civil society pada basic material-nya, ia dianggap hanya
mewakili kelompok-kelompok borjuis dan pemilik modal. Ketaatan terhadap hukum sebagai
prasyarat civil society juga dianggap nonsens. Karena, hukum sebagai aturan main
dipandang kelompok ini tak lebih dari sebuah produk politik. Sementara politik hanya
menjadi alat bagi kepentingan pemilik modal.
Dengan perdebatan yang seperti itu, wacana civil society memang bukan konsep yang
dengan mudah bisa diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter
sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tapi
secara teknis kebahasaan juga sulit ditemukan padanannya. Ada yang menerjemahkan
sebagai 'masyarakat sipil', yang kemudian diperhadapkan dengan 'masyarakat militer'.
Ada yang menerjemahkan sebagai 'masyarakat madani' dengan merujuk pada ideal type
masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam. Padahal civil
society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu negara yang disebut
nation-state (negara-bangsa), bukan negara yang didasarkan agama maupun negara yang
didasarkan pada suku (tribal-state). Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai
masyarakat warga, atau masyarakat kewargaan. Terjemahan yang terakhir inilah yang
agaknya lebih dekat dengan substansi civil society. Sementara ada kelompok lain lagi
yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society.
Sebagai konsep sosial, civil society merujuk pada sebuah masyarakat dalam suatu
negara. Masyarakat ini, berbeda dengan masyarakat yang ada dalam suatu komunitas etnis
tertentu, ditandai pertama-tama tidak pada kemandirian dan otonominya dari negara,
tetapi pada kepatuhannya terhadap produk-produk hukum yang sudah disepakati sebagai
aturan main bersama dalam kehidupan publik.
Tulisan ini akan mengikuti paradigma Hegel yang membagi masyarakat menjadi tiga, yakni
keluarga, civil society, dan negara dengan sedikit modifikasi seperti yang dikemukakan
Ignas Kleden melalui pembagian tiga wilayah sosial, yakni apa yang disebut sebagai
wilayah privat (private sphere), negara sebagai wilayah politik (political sphere),
dan civil society sebagai wilayah publik.
Wilayah privat (private sphere), merupakan kehidupan komunal dari berbagai jenis
komunitas, baik berdasarkan keturunan, kedaerahan, etnisitas, ataupun kesamaan agama
dan bahasa. Dalam komunitas ini para anggotanya umumnya saling mengenal satu sama
lain. Kehidupan dalam komunitas ini dan interaksi di antara anggotanya diatur
berdasarkan adat-kebiasaan dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kelompok
tersebut. Hal terpenting yang merupakan ciri khas suatu komunitas adalah bahwa
tiap-tiap anggotanya pertama-tama tidak dipandang sebagai individu yang otonom, tetapi
lebih sebagai anggota komunitas yang terikat pada kelompoknya. Termasuk dalam kategori
wilayah privat adalah komunitas etnis dan komunitas agama.
Wilayah kedua yaitu negara yang bisa disebut juga dengan istilah wilayah politik
(political sphere) di mana kekuasaan diorganisasikan dan digunakan, baik untuk
mengatasi berbagai masalah dan konflik maupun untuk mewujudkan kepentingan umum.
Representasi paling jelas dari kekuasaan negara adalah monopoli untuk menggunakan
kekerasan (violence) mengatasi konflik dan memulihkan ketertiban. Tidak mengherankan
jika negara sebagai organisasi kekuasaan selalu mempunyai suatu kecenderungan yang
boleh dikatakan alamiah untuk bersikap otoriter, yaitu sikap memaksakan kehendak
dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan sebagai sarananya. Itulah sebabnya
kekuasaan negara perlu diawasi dan dibatasi, baik dengan membagi-bagikannya sehingga
tercipta suatu keseimbangan kekuasaan maupun dengan mengontrolnya sehingga
penggunaannya tidak menjadi sewenang-wenang.
Sedangkan wilayah ketiga adalah civil society atau yang juga dikenal dengan istilah
wilayah publik (public sphere), suatu wilayah yang bebas dan otonom di mana masyarakat
saling berinteraksi dalam berbagai bentuknya tanpa ada batasan etnis, kedaerahan,
maupun keyakinan. Kekhasan wilayah ini adalah dia tidak bisa menggunakan kekerasan
untuk mencapai tujuan-tujuannya (seperti yang diperbolehkan pada negara), tetapi juga
tidak bisa lagi merujuk pada nilai-nilai budaya sebagai normanya (sebagaimana yang
terjadi pada wilayah privat dalam suatu komunitas). Norma-norma yang berlaku adalah
hukum positif yang disepakati semua pihak dan berlaku untuk semua kalangan. Dengan
demikian, untuk mengatasi konflik, maka penyelesaiannya tidak menggunakan norma-norma
budaya tertentu sebagaimana yang berlaku pada wilayah privat dalam suatu komunitas,
tetapi menggunakan hukum positif yang berlaku untuk semua orang.
***
DALAM sebuah negara yang menganut nation-state (negara-bangsa), pembagian wilayah itu
merupakan keharusan yang tidak bisa ditolak, karena masing-masing wilayah memiliki
aturan main, prosedur, mekanisme dan logikanya sendiri-sendiri yang bersifat otonom.
Ketiga wilayah tersebut harus dibatasi dengan garis demarkasi yang jelas dan tegas
sehingga tidak sampai terjadi intervensi wilayah yang satu terhadap wilayah lainnya.
Dalam konteks Indonesia, pembagian tiga wilayah sosial itu tidak mudah karena akan
berhadapan langsung dengan kendala struktur sosial politik yang meletakkan agama tidak
hanya pada wilayah privat, tetapi sekaligus wilayah publik bahkan masuk juga ke
wilayah politik. Departemen Agama adalah contoh paling nyata dari masuknya wilayah
privat ke wilayah politik.
Padahal, dalam kategorisasi di atas, agama sesungguhnya termasuk wilayah privat. Bukan
hanya karena agama adalah simbol yang paling eksplisit dari kehidupan komunal yang
menjadi ciri khas wilayah privat, tetapi terutama karena ia adalah ekspresi dari
kebebasan individu yang bersifat mutlak. Tidak ada satu kekuatan pun termasuk kekuatan
negara-yang bisa memaksa seseorang agar memilih agama tertentu. Di sini bisa dikatakan
bahwa urusan privat yang seharusnya cukup diserahkan kepada komunitas yang
bersangkutan, justru diintervensi oleh negara.
Dalam banyak hal, menurut Masdar F Mas'udi, masuknya agama ke dalam wilayah politik
sebetulnya lebih sering berdampak negatif daripada positif. Paling tidak ada tiga
risiko besar yang akan terjadi. Pertama, risiko yang bersifat ke dalam, membuat
independensi keagamaan menjadi hilang. Keagamaan yang semula bertumpu pada kebebasan
iman, lalu tereduksikan menjadi urusan birokrasi yang memiliki kecenderungan memaksa.
Kedua, komunitas keagamaan pun terpaksa juga ikut tertundukkan oleh kepentingan
negara, terutama kalangan elitenya. Ini bisa dilihat dari kecenderungan agama menjadi
legitimasi politik. Ketiga, yang bersifat keluar, campur tangan negara pada domain
keagamaan ini cenderung mendiskriminasikan faham keagamaan yang satu atas faham
keagamaan yang lain, menganakemaskan kelompok keagamaan yang satu sambil
menganaktirikan kelompok keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke derajat yang
rendah, menjadi faktor pemecah belah. Agama yang semestinya menjadi rahmat berubah
menjadi sumber fitnah.
Ketika agama sebagai isu privat muncul dalam wilayah publik maupun politik, ia juga
cenderung menjadi garis pemisah antara "kelompok kami" (in group) dan "kelompok
mereka" (out group). Hal ini membawa akibat lebih jauh: ke dalam, ia berfungsi
merangkul; dan ke luar, ia berfungsi menyangkal.
Jika ditarik ke dalam wilayah publik maupun politik, kecenderungan itu membawa
implikasi yang tidak kalah seriusnya. Karena, agama yang berwatak subyektif, tertutup
dan "mutlak", harus menangani masalah-masalah publik dan politik yang pada hakikatnya
bersifat obyektif, rasional dan terbuka. Kasus Ajinomoto yang dipersoalkan status
kehalalannya beberapa waktu yang lalu adalah contoh yang sangat telanjang. Sebagai
bagian dari wilayah publik, Ajinomoto adalah bumbu masak yang bisa diakses siapa saja
tanpa ada batasan-batasan etnis, status sosial, keyakinan, dan sebagainya. Ia adalah
produk publik, semua orang berhak mendapatkannya. Tetapi, ia kemudian diintervensi
oleh dua wilayah sekaligus: agama dan negara. Agama sebagai wilayah privat
mempersoalkan status kehalalannya. Negara, berdasarkan fatwa MUI atas nama agama,
melakukan intervensi yang sama dengan menarik seluruh produk Ajinomoto dan bahkan
menutup pabrik bumbu masak itu. Meski akhirnya dibuka kembali, di sini terlihat bahwa
perlindungan terhadap konsumen Muslim secara berlebihan telah membawa efek
mengesampingkan perlindungan terhadap kepentingan konsumen lainnya yang juga punya hak
untuk memperoleh produk itu. Konsumen Muslim jelas perlu dilindungi. Tapi bukan
berarti konsumen non-Muslim kemudian tidak berhak untuk mendapat perlindungan yang
sama.
Persoalannya adalah, agama sudah telanjur menjadi isu publik-sekaligus isu
politik-bahkan sejak negeri ini berdiri. Perdebatan sengit di Dewan Konstituante yang
berlarut-larut soal dasar negara merupakan ekspresi yang sangat nyata mengenai
kecenderungan menempatkan agama sebagai isu publik sekaligus isu politis. Dan, dalam
kadar tertentu, kecenderungan ini bersifat permanen. Hampir-hampir mustahil bagi
bangsa yang terkenal religius ini untuk melepaskan agama dari isu publik dan kemudian
meletakkannya hanya semata-mata sebagai isu privat. Islam sebagai agama mayoritas
diyakini pemeluknya lebih dari sekadar sistem ritual. Islam din wa daulah-Islam adalah
sistem ajaran (agama) dan sekaligus sistem kekuasaan-adalah adigium yang sudah
telanjur menancap kuat dalam memori kolektif umat yang terus dipertahankan,
dipraktikkan, dan direproduksi secara berkelanjutan. Dengan demikian, agak susah untuk
"menurunkan" agama sebagai isu publik dan politik pada level privat.
***
KEBERADAAN agama sebagai isu publik maupun politik sebetulnya tidak perlu dipersoalkan
sejauh pengaruh agama terhadap norma-norma yang berlaku di wilayah publik didasarkan
pada kesepakatan bersama. Sebab, pembagian wilayah secara jelas dan tegas itu tidak
berarti menafikan interaksi di antara ketiga wilayah itu. Interaksi justru merupakan
suatu hal yang wajar dan alami, karena dari interaksi inilah kemudian terjadi saling
mempengaruhi. Hanya saja, interaksi dan saling mempengaruhi itu harus terjadi dalam
koridor yang bersifat sukarela dan tidak memaksa.
Hubungan agama sebagai isu publik dan negara sebagai wilayah politik mestinya terjadi
dalam konteks itu. Kecenderungan agama untuk mempengaruhi kehidupan publik, baik di
level politik (negara) maupun di level civil society, adalah wajar-wajar saja.
Karena itu, kita tidak perlu membongkar paksa keberadaan agama sebagai isu publik dan
sekaligus isu politis karena justru kontra-produktif dan akan berhadapan secara
langsung dengan memori kolektif umat yang sudah demikian kokoh menganggap agama
sebagai isu publik dan sekaligus isu politik. Yang paling "realistis" adalah
"mengeksploitasi" sisi-sisi publik dari agama untuk kepentingan publik sambil secara
perlahan-lahan menurunkan sisi-sisi agama yang bersifat komunal ke wilayah privat.
Yang pertama-tama perlu dilakukan tentu saja adalah memilah-milah mana ajaran agama
yang bersifat publik dan mana ajaran privat. Upaya pemilahan ini sebetulnya tidak
terlalu sulit, karena di samping masing-masing agama memiliki ajaran privat dan ajaran
publik, perbedaan di antara keduanya pun cukup jelas. Ajaran publik adalah hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan umum. Sedangkan ajaran privat adalah hal-hal yang
hanya menyangkut kehidupan pribadi umat dan kehidupan komunitas agama yang
bersangkutan. Dalam Islam, misalnya, ajaran privat terlihat jelas dalam bidang
ubudiyah yang mengatur masalah-masalah ritual dan bidang al-ahwal al-syahshiyah yang
mengatur kehidupan domestik keluarga dan komunitas Muslim. Sedangkan ajaran publik
tercermin dalam bidang mu'amalah (hubungan horizontal antarsesama manusia tanpa
mengenal batas etnis, bahasa, maupun keyakinan) yang biasanya berisi prinsip-prinsip
moral dan etika sosial. Ajaran-ajaran publik inilah yang harus dipertahankan dan
diperkuat pada agama sebagai isu publik maupun politik. Sedangkan ajaran-ajaran privat
yang hanya berlaku bagi pribadi dan komunitas umat sedikit demi sedikit diturunkan
dari wilayah publik dan wilayah politik ke wilayah privat.
Tentu saja tidak cukup sampai di sini. Paradigma Koentowidjojo yang terkenal dengan
pendekatan "obyektifikasi" mungkin menarik untuk dikembangkan lebih jauh.
Obyektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak
hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga
dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural.
Secara lebih gamblang, Ignas Kleden menawarkan "sekularisasi simbol agama". Yang
dimaksudkan adalah, substansi dari ajaran agama yang bersifat publik itu
dipertahankan, tetapi label dan referensi yang secara simbolik menunjuk pada agama
tertentu ditanggalkan. Sehingga, ketika berada di ruang publik, substansi ajaran-meski
berasal dari agama tertentu-bisa diapresiasi dan diakui sebagai bagian dari kehidupan
publik. Ignas Kleden mengambil contoh komunitas Kristen yang dapat menawarkan nilai
cinta-kasih Kristiani sebagai sumbangan kepada wilayah publik. Akan tetapi, sambil
tetap mempertahankan substansinya, nilai itu haruslah diterjemahkan menjadi suatu
nilai publik yang dapat diterima juga oleh komunitas agama lainnya. Caranya ialah
dengan menanggalkan label Kristen dan referensi Kristennya dan menerjemahkannya
menjadi solidaritas sosial.
Dengan istilah solidaritas sosial dimaksudkan sebagai kesanggupan dan kewajiban untuk
melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Demikian pula dalam
hal pemihakan, yakni menghormati kelompok yang berhasil dalam usaha ekonominya, tetapi
memihak golongan yang kalah dan tersingkir dalam usaha ekonomi yang sama.
Menurut Ignas, ada berbagai nilai yang amat mencolok dalam setiap komunitas agama yang
sangat layak untuk disumbangkan ke wilayah publik dengan cara yang sama. Nilai-nilai
keadilan dan egalitarianisme sebagai nilai yang sangat kuat pada komunitas Islam,
etika antikekerasan dalam komunitas Buddha atau kepekaan terhadap alam dan ekologi
pada komunitas Hindu dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan
publik. Semua nilai-nilai itu dapat disumbangkan untuk memperkuat civil society
setelah referensi-referensi yang bersifat komunal ditanggalkan sehingga dapat diterima
oleh komunitas agama lain yang juga menjadi anggota dari wilayah publik.
Karena itu pula, sumbangan agama terhadap civil society perlu mendapat rumusan baru.
Gejala kebangkitan agama, khususnya Islam, pada era reformasi ini seharusnya dapat
menjadi momentum untuk memberikan sumbangan bagi kehidupan publik. Dalam ungkapan
Ignas Kleden, seseorang yang menjalankan ibadahnya dengan sungguh-sungguh biasanya
akan termotivasi untuk berkorban bagi kepentingan orang banyak, bahkan juga untuk
kepentingan orang-orang yang berasal dari komunitas agama lain. Di sinilah kesalehan
harus mendapat tafsiran baru. Kesalehan seseorang sebagai bagian dari wilayah publik
tidak diukur dari intensitasnya dalam menjalankan berbagai macam ibadah, tetapi lebih
ditentukan oleh sejauh mana dia sanggup menerjemahkan berbagai macam ibadah yang
dijalaninya serta beragam latihan rohaninya menjadi kesadaran baru untuk mendukung
kepentingan publik yang melampaui batas-batas agama, etnis, kedaerahan, ataupun
kesamaan bahasa.
***
MELIHAT berbagai persoalan di Tanah Air, jalan menuju civil society yang bebas dan
otonom agaknya masih panjang, bukan hanya karena tidak ada garis pemisah yang jelas
dan tegas antara wilayah privat (private sphere) dalam suatu komunitas, wilayah
politik (political sphere) dalam kehidupan negara, dan wilayah publik (civil society),
tetapi terutama karena sejauh ini belum ada usaha-usaha konkret untuk memisahkan
ketiga wilayah tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, campur aduk di antara ketiga
wilayah tersebut dibiarkan carut-marut.
Keadaan ini masih diperparah oleh kenyataan bahwa penegakan hukum sebagai prasyarat
mutlak kehidupan civil society nyaris terbengkalai sama sekali. "Pembangkangan"
terhadap hukum tidak hanya terjadi di wilayah politik (political sphere) dalam
kehidupan negara dengan maraknya apa yang disebut korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
tetapi juga di wilayah publik yang ditandai dengan ketidakpercayaan dan
ketidakpedulian terhadap hukum.
Sementara itu, kebangkitan komunalisme menjadi tantangan tersendiri. Salah satunya
adalah keinginan untuk memberlakukan syariat Islam untuk wilayah-wilayah yang basis
penduduknya Muslim. Bahkan, untuk sebagian, keinginan ini sudah mulai diekspresikan
dengan memberlakukan hukum rajam pada orang yang melakukan zina. Rajam adalah sanksi
hukum dalam Islam bagi orang yang melakukan zina dengan dilempar batu sekepal tangan
sampai mati. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang anggota lasykar jihad yang
mengaku berzina dan kemudian dihukum rajam.
Kebangkitan komunalisme juga muncul dalam bentuk lain yang tidak kalah seriusnya,
yakni konflik horizontal bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) seperti
yang terjadi di Sambas dan Sampit, sebelumnya juga di Ambon dan Maluku. Pertikaian
antar-etnis yang seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum positif, justru menggunakan
cara-cara adat dalam komunitas yang bersangkutan. Ironisnya, aparat juga tidak mampu
berbuat banyak hingga melahirkan korban nyawa yang demikian banyak.
Semua gejala di atas bermuara pada penghancuran nilai-nilai civil society yang
seharusnya dijaga dan dipelihara bersama. Bahwa masyarakat kehilangan kepercayaan
tidak hanya terhadap aparat hukum, tetapi bahkan terhadap hukum itu sendiri, tidak
bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindakan main hakim sendiri, apalagi dengan
cara-cara kekerasan.
Di sinilah usaha pemberdayaan civil society menemukan pijakannya yang paling nyata.
Perlunya pemberdayaan civil society tidak hanya dalam arti bahwa masyarakat memiliki
ruang publik yang bebas dari intervensi negara dan komunitas baik dalam pengertian
etnis maupun agama, tetapi juga kesediaan untuk memandang norma-norma hukum yang
berlaku di wilayah publik sebagai komitmen bersama yang harus dipegang teguh.
Pentingnya penguatan civil society sebagai wilayah yang bebas dari intervensi negara
maupun komunitas akan semakin nyata karena, menurut Ignas Kleden (1999), civil society
mengemban dua fungsi sekaligus. Terhadap negara ia berfungsi menerjemahkan kekuasaan
negara menjadi the rule of law; sementara terhadap kehidupan komunitas dalam wilayah
privat, dia menerjemahkan nilai-nilai budaya dari tiap-tiap komunitas menjadi
peraturan hukum yang bersifat publik.
Di sinilah negara menjadi "wasit" dalam wilayah civil society. Sebagai "wasit", negara
bukan hanya dituntut untuk berlaku adil, tetapi juga memerlukan kontrol dan pengawasan
dari segenap masyarakat warga (civil society) agar kewenangannya tidak sampai
diselewengkan.
Agus Muhammad, Peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M),
Jakarta
Djuni Pristiyanto
Thu, 05 Jul 2001 20:32:10 -0700
http://kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm
>Jumat, 6 Juli 2001
Jalan Panjang Menuju "Civil Society"
Oleh Agus Muhammad
WACANA civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersamaan
dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Memasuki dekade
80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Ini tidak heran, karena pada dekade
tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang
sangat hegemonik yang ditandai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Wacana lain
di luar Pancasila ibarat barang haram yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi
dengan tindakan hukum yang represif. Kita tentu masih ingat dua orang muda di
Yogyakarta pada tahun 1987 yang ditangkap karena menjual dan mengedarkan buku-buku
Pramoedya Ananta Toer, yakni Bambang Isti Nugroho dan Bonar Tigor Naipospos, dengan
tuduhan subversif.Wacana civil society berhasil merebut perhatian publik, terutama
kalangan terpelajar, LSM, dan akademisi karena ia menjadi satu-satunya wacana
"perlawanan" terhadap kekuasaan yang otoriter. Sedangkan wacana lain yang lebih keras,
seperti wacana oposisi, sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskursus publik.
Dengan beralasan oposisi tidak sesuai dengan budaya bangsa, penguasa bukan saja
melarang oposisi dalam praktik politik, tetapi sebagai wacana juga tidak diberi hak
hidup. Itulah sebabnya, wacana civil society seolah-olah menjadi alternatif sebagai
wacana tandingan.
Karena itu pula, wacana civil society lebih dimaknai sebagai "masyarakat sipil" yang
diperhadapkan secara diametral dengan negara. Dari wacana civil society yang
berkembang di Tanah Air, penekanan makna oposisi terhadap negara nampak sangat
dominan. Padahal, wacana ini sebetulnya tidak semata-mata sebagai konsep yang secara
diametral berhadap-hadapan dengan negara, tetapi lebih menunjuk pada keadaan sosial di
mana masyarakat memiliki ciri-ciri kemandirian, kesukarelaan, kemampuan
mengorganisasikan diri untuk memperjuangkan kepentingannya, serta ketaatan terhadap
aturan main yang berupa hukum-hukum positif.
Kemandirian dan kemampuan mengorganisasikan diri mengandaikan suatu keadaan di mana
masyarakat memiliki tidak hanya kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa
tergantung kepada pemerintah, tetapi juga kesadaran politik untuk selalu ikut terlibat
dalam proses-proses politik melalui mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, khususnya
berkenaan dengan aturan-aturan publik yang secara langsung bersentuhan dengan mereka.
Perspektif inilah yang agaknya sangat dominan dalam wacana civil society selama dua
dekade terakhir ini. Sedangkan perspektif yang berkenaan dengan ciri ketiga, yakni
kepatuhan terhadap hukum seolah-olah terlepas dari wacana civil society. Padahal ciri
yang terakhir ini tidak kalah pentingnya bagi upaya penguatan civil society.
Pemaknaan civil society sebagai wacana yang berhadapan secara diametral dengan
kekuasaan sering kali kemudian diidentifikasikan pada kelompok-kelompok masyarakat
yang tidak terkooptasi oleh negara. Kelompok-kelompok masyarakat, terutama LSM serta
organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah, sering kali dianggap representasi dari
civil society, karena kelompok-kelompok ini relatif mandiri, otonom, dan tidak
tergantung pada pemerintah. Identifikasi semacam ini sebetulnya bisa dipahami-meski
masih bisa diperdebatkan- karena pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada
organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan. Organisasi dengan massa dan
keanggotaan yang luas seperti NU dan Muhammadiyah saja tidak sepenuhnya bisa dianggap
mandiri, otonom, dan steril dari intervensi negara. Bukan hanya karena organisasi itu
tidak mampu bersikap independen dan otonom, tetapi juga karena negara versi Orde Baru
adalah negara yang mengurusi hampir segala hal hingga yang paling pribadi seperti
dalam kasus KB. Bisa dipahami jika civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti
dalam kekuasaan Orde Baru.
***
SEBAGAI konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbuka
terhadap berbagai perkembangan, pemaknaan, dan penafsiran. Dicetuskan pertama kali
oleh Cicero-seorang filsuf Romawi-dengan gagasan cocieties civilis, civil society
berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu. Pada mulanya civil society
dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga. Dalam konteks
ini, civil society identik dengan negara. Hegel termasuk yang membolehkan negara
melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan
aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh
bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi, dan
politik.
Dalam sejarahnya kemudian, civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas
yang terpisah dari negara. Adalah Thomas Pain (1792) yang mulai memaknai civil society
dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis
negara.
Dalam teori-teori liberal, civil society dipahami sebagai prakondisi bagi pembentukan
kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya kontrol sosial untuk
mengawasi kekuasaan negara. Hak-hak terpenting pada civil society menurut teori-teori
liberal adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul
dan berserikat. Dalam civil society tidak diperjuangkan kepentingan privat atau
kepentingan kelas, tetapi kepentingan umum, di mana baik kepentingan perorangan maupun
kepentingan kelas sudah dianggap terwakili.
Namun, kelompok Marxis melihatnya justru sebagai bagian dari kelas borjuasi yang harus
dilawan. Dengan memosisikan civil society pada basic material-nya, ia dianggap hanya
mewakili kelompok-kelompok borjuis dan pemilik modal. Ketaatan terhadap hukum sebagai
prasyarat civil society juga dianggap nonsens. Karena, hukum sebagai aturan main
dipandang kelompok ini tak lebih dari sebuah produk politik. Sementara politik hanya
menjadi alat bagi kepentingan pemilik modal.
Dengan perdebatan yang seperti itu, wacana civil society memang bukan konsep yang
dengan mudah bisa diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter
sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tapi
secara teknis kebahasaan juga sulit ditemukan padanannya. Ada yang menerjemahkan
sebagai 'masyarakat sipil', yang kemudian diperhadapkan dengan 'masyarakat militer'.
Ada yang menerjemahkan sebagai 'masyarakat madani' dengan merujuk pada ideal type
masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam. Padahal civil
society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu negara yang disebut
nation-state (negara-bangsa), bukan negara yang didasarkan agama maupun negara yang
didasarkan pada suku (tribal-state). Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai
masyarakat warga, atau masyarakat kewargaan. Terjemahan yang terakhir inilah yang
agaknya lebih dekat dengan substansi civil society. Sementara ada kelompok lain lagi
yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society.
Sebagai konsep sosial, civil society merujuk pada sebuah masyarakat dalam suatu
negara. Masyarakat ini, berbeda dengan masyarakat yang ada dalam suatu komunitas etnis
tertentu, ditandai pertama-tama tidak pada kemandirian dan otonominya dari negara,
tetapi pada kepatuhannya terhadap produk-produk hukum yang sudah disepakati sebagai
aturan main bersama dalam kehidupan publik.
Tulisan ini akan mengikuti paradigma Hegel yang membagi masyarakat menjadi tiga, yakni
keluarga, civil society, dan negara dengan sedikit modifikasi seperti yang dikemukakan
Ignas Kleden melalui pembagian tiga wilayah sosial, yakni apa yang disebut sebagai
wilayah privat (private sphere), negara sebagai wilayah politik (political sphere),
dan civil society sebagai wilayah publik.
Wilayah privat (private sphere), merupakan kehidupan komunal dari berbagai jenis
komunitas, baik berdasarkan keturunan, kedaerahan, etnisitas, ataupun kesamaan agama
dan bahasa. Dalam komunitas ini para anggotanya umumnya saling mengenal satu sama
lain. Kehidupan dalam komunitas ini dan interaksi di antara anggotanya diatur
berdasarkan adat-kebiasaan dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kelompok
tersebut. Hal terpenting yang merupakan ciri khas suatu komunitas adalah bahwa
tiap-tiap anggotanya pertama-tama tidak dipandang sebagai individu yang otonom, tetapi
lebih sebagai anggota komunitas yang terikat pada kelompoknya. Termasuk dalam kategori
wilayah privat adalah komunitas etnis dan komunitas agama.
Wilayah kedua yaitu negara yang bisa disebut juga dengan istilah wilayah politik
(political sphere) di mana kekuasaan diorganisasikan dan digunakan, baik untuk
mengatasi berbagai masalah dan konflik maupun untuk mewujudkan kepentingan umum.
Representasi paling jelas dari kekuasaan negara adalah monopoli untuk menggunakan
kekerasan (violence) mengatasi konflik dan memulihkan ketertiban. Tidak mengherankan
jika negara sebagai organisasi kekuasaan selalu mempunyai suatu kecenderungan yang
boleh dikatakan alamiah untuk bersikap otoriter, yaitu sikap memaksakan kehendak
dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan sebagai sarananya. Itulah sebabnya
kekuasaan negara perlu diawasi dan dibatasi, baik dengan membagi-bagikannya sehingga
tercipta suatu keseimbangan kekuasaan maupun dengan mengontrolnya sehingga
penggunaannya tidak menjadi sewenang-wenang.
Sedangkan wilayah ketiga adalah civil society atau yang juga dikenal dengan istilah
wilayah publik (public sphere), suatu wilayah yang bebas dan otonom di mana masyarakat
saling berinteraksi dalam berbagai bentuknya tanpa ada batasan etnis, kedaerahan,
maupun keyakinan. Kekhasan wilayah ini adalah dia tidak bisa menggunakan kekerasan
untuk mencapai tujuan-tujuannya (seperti yang diperbolehkan pada negara), tetapi juga
tidak bisa lagi merujuk pada nilai-nilai budaya sebagai normanya (sebagaimana yang
terjadi pada wilayah privat dalam suatu komunitas). Norma-norma yang berlaku adalah
hukum positif yang disepakati semua pihak dan berlaku untuk semua kalangan. Dengan
demikian, untuk mengatasi konflik, maka penyelesaiannya tidak menggunakan norma-norma
budaya tertentu sebagaimana yang berlaku pada wilayah privat dalam suatu komunitas,
tetapi menggunakan hukum positif yang berlaku untuk semua orang.
***
DALAM sebuah negara yang menganut nation-state (negara-bangsa), pembagian wilayah itu
merupakan keharusan yang tidak bisa ditolak, karena masing-masing wilayah memiliki
aturan main, prosedur, mekanisme dan logikanya sendiri-sendiri yang bersifat otonom.
Ketiga wilayah tersebut harus dibatasi dengan garis demarkasi yang jelas dan tegas
sehingga tidak sampai terjadi intervensi wilayah yang satu terhadap wilayah lainnya.
Dalam konteks Indonesia, pembagian tiga wilayah sosial itu tidak mudah karena akan
berhadapan langsung dengan kendala struktur sosial politik yang meletakkan agama tidak
hanya pada wilayah privat, tetapi sekaligus wilayah publik bahkan masuk juga ke
wilayah politik. Departemen Agama adalah contoh paling nyata dari masuknya wilayah
privat ke wilayah politik.
Padahal, dalam kategorisasi di atas, agama sesungguhnya termasuk wilayah privat. Bukan
hanya karena agama adalah simbol yang paling eksplisit dari kehidupan komunal yang
menjadi ciri khas wilayah privat, tetapi terutama karena ia adalah ekspresi dari
kebebasan individu yang bersifat mutlak. Tidak ada satu kekuatan pun termasuk kekuatan
negara-yang bisa memaksa seseorang agar memilih agama tertentu. Di sini bisa dikatakan
bahwa urusan privat yang seharusnya cukup diserahkan kepada komunitas yang
bersangkutan, justru diintervensi oleh negara.
Dalam banyak hal, menurut Masdar F Mas'udi, masuknya agama ke dalam wilayah politik
sebetulnya lebih sering berdampak negatif daripada positif. Paling tidak ada tiga
risiko besar yang akan terjadi. Pertama, risiko yang bersifat ke dalam, membuat
independensi keagamaan menjadi hilang. Keagamaan yang semula bertumpu pada kebebasan
iman, lalu tereduksikan menjadi urusan birokrasi yang memiliki kecenderungan memaksa.
Kedua, komunitas keagamaan pun terpaksa juga ikut tertundukkan oleh kepentingan
negara, terutama kalangan elitenya. Ini bisa dilihat dari kecenderungan agama menjadi
legitimasi politik. Ketiga, yang bersifat keluar, campur tangan negara pada domain
keagamaan ini cenderung mendiskriminasikan faham keagamaan yang satu atas faham
keagamaan yang lain, menganakemaskan kelompok keagamaan yang satu sambil
menganaktirikan kelompok keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke derajat yang
rendah, menjadi faktor pemecah belah. Agama yang semestinya menjadi rahmat berubah
menjadi sumber fitnah.
Ketika agama sebagai isu privat muncul dalam wilayah publik maupun politik, ia juga
cenderung menjadi garis pemisah antara "kelompok kami" (in group) dan "kelompok
mereka" (out group). Hal ini membawa akibat lebih jauh: ke dalam, ia berfungsi
merangkul; dan ke luar, ia berfungsi menyangkal.
Jika ditarik ke dalam wilayah publik maupun politik, kecenderungan itu membawa
implikasi yang tidak kalah seriusnya. Karena, agama yang berwatak subyektif, tertutup
dan "mutlak", harus menangani masalah-masalah publik dan politik yang pada hakikatnya
bersifat obyektif, rasional dan terbuka. Kasus Ajinomoto yang dipersoalkan status
kehalalannya beberapa waktu yang lalu adalah contoh yang sangat telanjang. Sebagai
bagian dari wilayah publik, Ajinomoto adalah bumbu masak yang bisa diakses siapa saja
tanpa ada batasan-batasan etnis, status sosial, keyakinan, dan sebagainya. Ia adalah
produk publik, semua orang berhak mendapatkannya. Tetapi, ia kemudian diintervensi
oleh dua wilayah sekaligus: agama dan negara. Agama sebagai wilayah privat
mempersoalkan status kehalalannya. Negara, berdasarkan fatwa MUI atas nama agama,
melakukan intervensi yang sama dengan menarik seluruh produk Ajinomoto dan bahkan
menutup pabrik bumbu masak itu. Meski akhirnya dibuka kembali, di sini terlihat bahwa
perlindungan terhadap konsumen Muslim secara berlebihan telah membawa efek
mengesampingkan perlindungan terhadap kepentingan konsumen lainnya yang juga punya hak
untuk memperoleh produk itu. Konsumen Muslim jelas perlu dilindungi. Tapi bukan
berarti konsumen non-Muslim kemudian tidak berhak untuk mendapat perlindungan yang
sama.
Persoalannya adalah, agama sudah telanjur menjadi isu publik-sekaligus isu
politik-bahkan sejak negeri ini berdiri. Perdebatan sengit di Dewan Konstituante yang
berlarut-larut soal dasar negara merupakan ekspresi yang sangat nyata mengenai
kecenderungan menempatkan agama sebagai isu publik sekaligus isu politis. Dan, dalam
kadar tertentu, kecenderungan ini bersifat permanen. Hampir-hampir mustahil bagi
bangsa yang terkenal religius ini untuk melepaskan agama dari isu publik dan kemudian
meletakkannya hanya semata-mata sebagai isu privat. Islam sebagai agama mayoritas
diyakini pemeluknya lebih dari sekadar sistem ritual. Islam din wa daulah-Islam adalah
sistem ajaran (agama) dan sekaligus sistem kekuasaan-adalah adigium yang sudah
telanjur menancap kuat dalam memori kolektif umat yang terus dipertahankan,
dipraktikkan, dan direproduksi secara berkelanjutan. Dengan demikian, agak susah untuk
"menurunkan" agama sebagai isu publik dan politik pada level privat.
***
KEBERADAAN agama sebagai isu publik maupun politik sebetulnya tidak perlu dipersoalkan
sejauh pengaruh agama terhadap norma-norma yang berlaku di wilayah publik didasarkan
pada kesepakatan bersama. Sebab, pembagian wilayah secara jelas dan tegas itu tidak
berarti menafikan interaksi di antara ketiga wilayah itu. Interaksi justru merupakan
suatu hal yang wajar dan alami, karena dari interaksi inilah kemudian terjadi saling
mempengaruhi. Hanya saja, interaksi dan saling mempengaruhi itu harus terjadi dalam
koridor yang bersifat sukarela dan tidak memaksa.
Hubungan agama sebagai isu publik dan negara sebagai wilayah politik mestinya terjadi
dalam konteks itu. Kecenderungan agama untuk mempengaruhi kehidupan publik, baik di
level politik (negara) maupun di level civil society, adalah wajar-wajar saja.
Karena itu, kita tidak perlu membongkar paksa keberadaan agama sebagai isu publik dan
sekaligus isu politis karena justru kontra-produktif dan akan berhadapan secara
langsung dengan memori kolektif umat yang sudah demikian kokoh menganggap agama
sebagai isu publik dan sekaligus isu politik. Yang paling "realistis" adalah
"mengeksploitasi" sisi-sisi publik dari agama untuk kepentingan publik sambil secara
perlahan-lahan menurunkan sisi-sisi agama yang bersifat komunal ke wilayah privat.
Yang pertama-tama perlu dilakukan tentu saja adalah memilah-milah mana ajaran agama
yang bersifat publik dan mana ajaran privat. Upaya pemilahan ini sebetulnya tidak
terlalu sulit, karena di samping masing-masing agama memiliki ajaran privat dan ajaran
publik, perbedaan di antara keduanya pun cukup jelas. Ajaran publik adalah hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan umum. Sedangkan ajaran privat adalah hal-hal yang
hanya menyangkut kehidupan pribadi umat dan kehidupan komunitas agama yang
bersangkutan. Dalam Islam, misalnya, ajaran privat terlihat jelas dalam bidang
ubudiyah yang mengatur masalah-masalah ritual dan bidang al-ahwal al-syahshiyah yang
mengatur kehidupan domestik keluarga dan komunitas Muslim. Sedangkan ajaran publik
tercermin dalam bidang mu'amalah (hubungan horizontal antarsesama manusia tanpa
mengenal batas etnis, bahasa, maupun keyakinan) yang biasanya berisi prinsip-prinsip
moral dan etika sosial. Ajaran-ajaran publik inilah yang harus dipertahankan dan
diperkuat pada agama sebagai isu publik maupun politik. Sedangkan ajaran-ajaran privat
yang hanya berlaku bagi pribadi dan komunitas umat sedikit demi sedikit diturunkan
dari wilayah publik dan wilayah politik ke wilayah privat.
Tentu saja tidak cukup sampai di sini. Paradigma Koentowidjojo yang terkenal dengan
pendekatan "obyektifikasi" mungkin menarik untuk dikembangkan lebih jauh.
Obyektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak
hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga
dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural.
Secara lebih gamblang, Ignas Kleden menawarkan "sekularisasi simbol agama". Yang
dimaksudkan adalah, substansi dari ajaran agama yang bersifat publik itu
dipertahankan, tetapi label dan referensi yang secara simbolik menunjuk pada agama
tertentu ditanggalkan. Sehingga, ketika berada di ruang publik, substansi ajaran-meski
berasal dari agama tertentu-bisa diapresiasi dan diakui sebagai bagian dari kehidupan
publik. Ignas Kleden mengambil contoh komunitas Kristen yang dapat menawarkan nilai
cinta-kasih Kristiani sebagai sumbangan kepada wilayah publik. Akan tetapi, sambil
tetap mempertahankan substansinya, nilai itu haruslah diterjemahkan menjadi suatu
nilai publik yang dapat diterima juga oleh komunitas agama lainnya. Caranya ialah
dengan menanggalkan label Kristen dan referensi Kristennya dan menerjemahkannya
menjadi solidaritas sosial.
Dengan istilah solidaritas sosial dimaksudkan sebagai kesanggupan dan kewajiban untuk
melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Demikian pula dalam
hal pemihakan, yakni menghormati kelompok yang berhasil dalam usaha ekonominya, tetapi
memihak golongan yang kalah dan tersingkir dalam usaha ekonomi yang sama.
Menurut Ignas, ada berbagai nilai yang amat mencolok dalam setiap komunitas agama yang
sangat layak untuk disumbangkan ke wilayah publik dengan cara yang sama. Nilai-nilai
keadilan dan egalitarianisme sebagai nilai yang sangat kuat pada komunitas Islam,
etika antikekerasan dalam komunitas Buddha atau kepekaan terhadap alam dan ekologi
pada komunitas Hindu dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan
publik. Semua nilai-nilai itu dapat disumbangkan untuk memperkuat civil society
setelah referensi-referensi yang bersifat komunal ditanggalkan sehingga dapat diterima
oleh komunitas agama lain yang juga menjadi anggota dari wilayah publik.
Karena itu pula, sumbangan agama terhadap civil society perlu mendapat rumusan baru.
Gejala kebangkitan agama, khususnya Islam, pada era reformasi ini seharusnya dapat
menjadi momentum untuk memberikan sumbangan bagi kehidupan publik. Dalam ungkapan
Ignas Kleden, seseorang yang menjalankan ibadahnya dengan sungguh-sungguh biasanya
akan termotivasi untuk berkorban bagi kepentingan orang banyak, bahkan juga untuk
kepentingan orang-orang yang berasal dari komunitas agama lain. Di sinilah kesalehan
harus mendapat tafsiran baru. Kesalehan seseorang sebagai bagian dari wilayah publik
tidak diukur dari intensitasnya dalam menjalankan berbagai macam ibadah, tetapi lebih
ditentukan oleh sejauh mana dia sanggup menerjemahkan berbagai macam ibadah yang
dijalaninya serta beragam latihan rohaninya menjadi kesadaran baru untuk mendukung
kepentingan publik yang melampaui batas-batas agama, etnis, kedaerahan, ataupun
kesamaan bahasa.
***
MELIHAT berbagai persoalan di Tanah Air, jalan menuju civil society yang bebas dan
otonom agaknya masih panjang, bukan hanya karena tidak ada garis pemisah yang jelas
dan tegas antara wilayah privat (private sphere) dalam suatu komunitas, wilayah
politik (political sphere) dalam kehidupan negara, dan wilayah publik (civil society),
tetapi terutama karena sejauh ini belum ada usaha-usaha konkret untuk memisahkan
ketiga wilayah tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, campur aduk di antara ketiga
wilayah tersebut dibiarkan carut-marut.
Keadaan ini masih diperparah oleh kenyataan bahwa penegakan hukum sebagai prasyarat
mutlak kehidupan civil society nyaris terbengkalai sama sekali. "Pembangkangan"
terhadap hukum tidak hanya terjadi di wilayah politik (political sphere) dalam
kehidupan negara dengan maraknya apa yang disebut korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
tetapi juga di wilayah publik yang ditandai dengan ketidakpercayaan dan
ketidakpedulian terhadap hukum.
Sementara itu, kebangkitan komunalisme menjadi tantangan tersendiri. Salah satunya
adalah keinginan untuk memberlakukan syariat Islam untuk wilayah-wilayah yang basis
penduduknya Muslim. Bahkan, untuk sebagian, keinginan ini sudah mulai diekspresikan
dengan memberlakukan hukum rajam pada orang yang melakukan zina. Rajam adalah sanksi
hukum dalam Islam bagi orang yang melakukan zina dengan dilempar batu sekepal tangan
sampai mati. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang anggota lasykar jihad yang
mengaku berzina dan kemudian dihukum rajam.
Kebangkitan komunalisme juga muncul dalam bentuk lain yang tidak kalah seriusnya,
yakni konflik horizontal bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) seperti
yang terjadi di Sambas dan Sampit, sebelumnya juga di Ambon dan Maluku. Pertikaian
antar-etnis yang seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum positif, justru menggunakan
cara-cara adat dalam komunitas yang bersangkutan. Ironisnya, aparat juga tidak mampu
berbuat banyak hingga melahirkan korban nyawa yang demikian banyak.
Semua gejala di atas bermuara pada penghancuran nilai-nilai civil society yang
seharusnya dijaga dan dipelihara bersama. Bahwa masyarakat kehilangan kepercayaan
tidak hanya terhadap aparat hukum, tetapi bahkan terhadap hukum itu sendiri, tidak
bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindakan main hakim sendiri, apalagi dengan
cara-cara kekerasan.
Di sinilah usaha pemberdayaan civil society menemukan pijakannya yang paling nyata.
Perlunya pemberdayaan civil society tidak hanya dalam arti bahwa masyarakat memiliki
ruang publik yang bebas dari intervensi negara dan komunitas baik dalam pengertian
etnis maupun agama, tetapi juga kesediaan untuk memandang norma-norma hukum yang
berlaku di wilayah publik sebagai komitmen bersama yang harus dipegang teguh.
Pentingnya penguatan civil society sebagai wilayah yang bebas dari intervensi negara
maupun komunitas akan semakin nyata karena, menurut Ignas Kleden (1999), civil society
mengemban dua fungsi sekaligus. Terhadap negara ia berfungsi menerjemahkan kekuasaan
negara menjadi the rule of law; sementara terhadap kehidupan komunitas dalam wilayah
privat, dia menerjemahkan nilai-nilai budaya dari tiap-tiap komunitas menjadi
peraturan hukum yang bersifat publik.
Di sinilah negara menjadi "wasit" dalam wilayah civil society. Sebagai "wasit", negara
bukan hanya dituntut untuk berlaku adil, tetapi juga memerlukan kontrol dan pengawasan
dari segenap masyarakat warga (civil society) agar kewenangannya tidak sampai
diselewengkan.
Agus Muhammad, Peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M),
Jakarta
Komentar
Posting Komentar