Pandangan Ibn Khaldun Terhadap Kota-Kota Islam


Pendahuluan
Latar Belakang

Ibnu Khaldun sejatinya pemikir dan ulama peletak dasar ilmu sosiologi dan politik melalui karya magnum opusnya, al muqaddimah. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dengan namaAbdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibarahim bin Abdurrahman bin Khaldun, dan lebih dikenal dengan ibnu khaldun.  Ibnu khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan  politik.  Nenek moyangnya berasal dari hadaramaut yang kemudian bermigrasi ke sevilla (Spanyol) pada abad ke-8, keluarganya menduduki posisi tinggi dalam politik Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke maroko beberapa tahun sebelum sevilla jatuh ketangan penguasa Kristen pada tahun 1248 M.
Ibnu Kholdun menjelaskan dalam bukunya mukodimah bahwa sebuah kemajuan kota dapat dilihat dari kemewahan dan kesentosaan. Ia menyebutnya sebagai hadlarah. Kemajuan sebuah kota muncul setelah adanya kemunculan badawah (perkampungan) dan cirri-cirinya.Sebuah kota dibangun diatas sebuah kedaulatan yang kuat yang dapat mendirikan kota besar dengan monument yang besar pula.Kholdun mempertegas bahwa sebuah kota dapat didirikan atas dasar sebuah kedaulatan. Semangat kedaulatan ini merupakan cermin dari teori kholdun yang dikenal dalam ilmu sosiologi dengan teori solidaritas. Ibnu Khaldun menjelaskan tentang karakteristik manusia. Ia mengatakan bahwa manusia memiliki karakter khusus, yaitu makhluk bermasyarakat (hayawan ijtimai/social creature), makhluk berakal (hayawan natiq/intelligent creature), makhluk berpolitik (hayawan siyasi/political creature), dan makhluk berekonomi (hayawan iqtishadi/ecomic creature).

Pembahasan
oleh
Moh Teguh Prasetyo
Pandangan Ibn Khaldun Terhadap Kota-Kota Islam
  1. Biografi Ibn Khaldun
Ibnu Khaldun sejatinya pemikir dan ulama peletak dasar ilmu sosiologi dan politik melalui karya magnum opusnya, al muqaddimah. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dengan namaAbdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibarahim bin Abdurrahman bin Khaldun, dan lebih dikenal dengan ibnu khaldun.[1]
Ibnu khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan  politik.[2] Nenek moyangnya berasal dari hadaramaut yang kemudian bermigrasi ke sevilla (Spanyol) pada abad ke-8, keluarganya menduduki posisi tinggi dalam politik Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke maroko beberapa tahun sebelum sevilla jatuh ketangan penguasa Kristen pada tahun 1248 M. Setelah itu mereka menetap di Tunisia, di kota ini mereka dihormati pihak istana dan diberi tanah milik dinasti Hafsiah.[3] Latar belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu factor yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum terjun sepenuhnya di dunia ke-ilmuan.
Pada masa hidupnya ini merupakan masa pengujung zaman pertengahan dan permulaan zaman renaissance. Perubahan krusial historis menanadai abad ini, baik dalam bidang politik maupun pemikiran. Di eropah zaman merupakan zaman tumbangnya cikal bakal renaissance. Sedangkan di timur (islam) periode ini sedang berlangsung suatu fase kemunduran dan disintegrasi.[4] Di tengah evolusi peradaban ini, khaldun pernah terlibat langsung intrik politik  dalam pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Setelah itu khaldun merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, sehingga ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual.
Keputusan ini berbuah dengan munculnya karya-karya intelektualnya seperti kitab al ibar  yang membahas mengenai sejarah. Kitab tersebut didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia, yang kemudian dikenal dengan muqaddimah ibnu khaldun.[5] Muqaddimah ini selesai ditulis oleh khaldun dalam waktu selama lima bulan, dan berakhir pada  pertengahan 779 H/ November 1377 M. hal ini ia ungkapkan dalam penutupan muqaddimah-nya:
Saya selesaikan komposisi dan naskah dari pasal yang pertama ini, sebelum revisi dan koreksi, selama lima bulan, berakhir pada pertengahan tahun 779 (November 1377). Lalu, saya merevisi dan mengoreksi buku ini, dan saya tambahkan kepadanya sejarah berbagai macam bangsa, sebagaimana telah saya sebutkan dan saya niatkan untuk melakukannya pada permulaan karya itu.[6] Setelah itu khaldun menulis kitab keduanya yang popopuler dengan nama Kitabul ‘ibar wa dil- wa nul mubrada’ wal khabar, fil ayyan-mil ‘arab wal ‘ajam wal barbar, wa man la a-sharahum min dzawi s-sulthaan al-akbar,[7]atau dikenal dengan kitab alam semesta.
  1. Pemikiran Ibn Khaldun Secara Umum
Ibnu Kholdun menjelaskan dalam bukunya mukodimah bahwa sebuah kemajuan kota dapat dilihat dari kemewahan dan kesentosaan. Ia menyebutnya sebagai hadlarah. Kemajuan sebuah kota muncul setelah adanya kemunculan badawah (perkampungan) dan cirri-cirinya.Sebuah kota dibangun diatas sebuah kedaulatan yang kuat yang dapat mendirikan kota besar dengan monument yang besar pula.Kholdun mempertegas bahwa sebuah kota dapat didirikan atas dasar sebuah kedaulatan. Semangat kedaulatan ini merupakan cermin dari teori kholdun yang dikenal dalam ilmu sosiologi dengan teori solidaritas. Ibnu Khaldun menjelaskan tentang karakteristik manusia. Ia mengatakan bahwa manusia memiliki karakter khusus, yaitu makhluk bermasyarakat (hayawan ijtimai/social creature), makhluk berakal (hayawan natiq/intelligent creature), makhluk berpolitik (hayawan siyasi/political creature), dan makhluk berekonomi (hayawan iqtishadi/ecomic creature). [8]
Setelah membahas historiografi dan kelemahan-kelemahananya, ibnu khaldun memulai bahasanya tentang kategori yang paling umum, yaitu asosiasi manusia atau peradaban. Peradaban merupakan suatu keniscayaan, karena “manusia adalah makhluk politik”. Artinya, ia tidak dapat bertahan tanpa organisasi sosial, yang disebut oleh para filusuf kota (polis).[9] Manusia sebagai individu saling bergantung satu sama lain untuk penghidupan mereka, sehingga menuntut adanya pembagian kerja.
Ibnu khaldun menjelaskan bahwa manusia manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain, karena ia mempunyai ciri sendiri. Yaitu: (1) ilmu pengetahuan dan keahlian yang merupakan hasil pikiran; (2) Butuh kepada pengaruh yang sanggup mengendalikan, dan kepada kekuasaan yang kokoh, sebab tanpa hal itu eksistensinya tak bisa dimungkinkan; (3) Usaha manusia menciptakan penghidupan, dan perhatiannya untuk mem­peroleh penghidupan itu dengan berbagai cara. (4) Peradaban ('umran). Maksudnya, manusia senang mengambil tempat, dan bertempat tinggal, di kota-kota atau di dusun-dusun kecil tempat beramah tamah dengan kaum kerabat, serta tempat memenuhi segala kebutuhan manusia, sesuai dengan watak alami manusia yang senang bantu-membantu.[10] Peradaban ini ada yang berbentuk peradaban badui (padang pasir) dan ada yang berbentuk peradaban menetap
Oleh karena itu, organisasi masyarakat menjadi suatu keharusan bagi manusia (al-ijtitnaa1 dharuuriyyun II an-naw'i al-insaani). Tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak akan sempurna. Keinginan Tuhan hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di permukaan bumi ini tentulah tidak akan terbukti. Inilah arti yang sebenarnya dari peradaban (al 'umra).
Sealain itu pula Ibn Khaldun juga menerangkan tentang masarakat urban dimana Ibn Khaldun menyebut perkembangan bidang-bidang ini sebagai cerminan dari apa yang ia sebut sebagai “al-taraf fi al-madinah” atau kemewahan urban. Dia juga mengemukakan suatu pengamatan yang menarik bahwa dalam segi-segi tertentu, kemewahan ini juga kadang-kadang bergerak secara ekstrim. Ibn Khaldun menyebut sejumlah contoh, misalnya: profesi melatih burung dan keledai, sulap, dan berjalan serta menari di atas seutas tali. Deskripsi Ibn Khaldun yang jeli ini langsung membuat saya berkesimpulan bahwa pada saat itu pertunjukan sirkus sudah mulai berkembang.Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu.[11]
  1. Pandangan Ibn Khaldun Terhadap Kota-Kota Islam
Ibnu Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai pembagian kerja dan diferensiasi sosial.Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme dimana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsistem, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampau, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a‟mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai‟d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup “luxuries” (al-kamâlat min al-ma‟âsh).[12] Dalam bagian ini Ibnu Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai pembagian kerja dan diferensiasi sosial.
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme dimana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsistem, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampau, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a‟mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai‟d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup “luxuries” (al-kamâlat min al-ma‟âsh).[13]
Ibn khaldun mengakui adanya dua alasan utama yang menjadi faktor untuk mendirikan kota. Pertama, kekuasaan kerajaan yang mendorong masarakat untuk mencari kedamaian, ketentrama dan relaxasi, dan berupaya untuk menyediakan berbagai aspek dari peradaban yang jarang ditemukan dalam masarakat dipadang pasir, alasan kedua adalah untuk pertahankan diri, dinasti dan peradaban(’Umr n), melawan para rival dan sainganya, ibn khaldun lebih perhatian tentang lingkungan alamiah pula, dengan menganggapnya sebagai masing-masing halangan maupun dukungan.[14]
Para perencana dan pembangunan kota, dengan begitu, harus mencari tahu bagaimana alam dapat mendukungnya dan berupaya mencegah serangan-seranganya. Disamping alasan pertahanan diri dan faktor dukungan lingkungan alam yang menjadi alasan utama memungkinkanya berdirinya kota, Ibn Khaldun berbicra tentang sejumlah persoalan yang semestinya diperlukan apakah ia bisa menjadi suatu keuntungan atau menjadi suatu alat bagi kenyamanan kota. Persoalan-persoalan itu adalah: air untuk konsumsi minum, irigasi dan tujuan kebersihan kota, padang gembalaan untuk suplai pangan penduduknya(terutama susu dan daging ), ladang dan persawahan yang cocok untuk bercocok tanam, hutan sebagai bahan bakar dan materi untuk pembanguanan, dan laut untuk memfasilitasi aktivitas impor dan ekspor dan komoditi barang.[15]
Sealain itu pula ibn khaldun juga memaparkan tentang bentuk ideal suatu kota sebaga berikut: standar tinggi keamanan sempurna dan sehat dari aspek tampilan fisiknya, kebersihan, ketersediaan berbagai fasilitas sustainabillity. Aksesibility pemenuhan berbagai tuntutan akan insfrastruktur dan pemukiman, promosi dan perlestarian dan aktivitas agrikultural dan industrial, kehidupan berdampingan yang damai dengan alam, penciptaan komunitas sosial yang kuat dengan ikatan sosial yang utuh, stabilitas kendali politik dan otoritas.[16]
Sealain itu pula ada beberapa proses perencanaan dalam berbagai keadaan apapun manusia tidak dapat menyalahi atau bertindak tidak selaras dengan lingkungan alamiahnya, karena kelemahanya dari berbagai aspek, semisal, aspek fisik mental dan emotional, sangat bergantung dengan milleunya, pada dasarnya tidak ada manusia yang ingin gagal. Selain berbicara tentang faktor pertahanan dan faktor lingkungan alamiah, Ibn Khaldun mendiskusikan sejumlah persoalan tentang kenyamanan sebuah kota meliputi: faktor ketersediaan air, lahan bagi perternakan, lahan sawah maupun perkebunan, hutan dan laut.[17]






Penutup

Simpulan

perencanaan dan pembangunan kota menurut Ibn khaldun adalh bentuk kota yang dapat mendukung dan bisa mencegah serangan-serangan musuh. Disamping alasan pertahanan diri dan faktor dukungan lingkungan alam yang menjadi alasan utama memungkinkanya berdirinya kota, Ibn Khaldun berbicra tentang sejumlah persoalan yang semestinya diperlukan apakah ia bisa menjadi suatu keuntungan atau menjadi suatu alat bagi kenyamanan kota. Persoalan-persoalan itu adalah: air untuk konsumsi minum, irigasi dan tujuan kebersihan kota, padang gembalaan untuk suplai pangan penduduknya(terutama susu dan daging ), ladang dan persawahan yang cocok untuk bercocok tanam, hutan sebagai bahan bakar dan materi untuk pembanguanan, dan laut untuk memfasilitasi aktivitas impor dan ekspor dan komoditi barang.
Selain itu pula Ibn Khaldun memaparkan tentang bentuk ideal suatu kota sebagai berikut: standar tinggi keamanan sempurna dan sehat dari aspek tampilan fisiknya, kebersihan, ketersediaan berbagai fasilitas sustainabillity. Aksesibility pemenuhan berbagai tuntutan akan insfrastruktur dan pemukiman, promosi dan perlestarian dan aktivitas agrikultural dan industrial, kehidupan berdampingan yang damai dengan alam, penciptaan komunitas sosial yang kuat dengan ikatan sosial yang utuh, stabilitas kendali politik dan otoritas.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Syafii Maarif. Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan
 Timur. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
  Ajiwidjajanto, Koes. sejarah kota-kota Islam. Fakultas Adab.
Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.TT
Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000).
Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.67-68 Al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu
 Khaldun. Penerjemah Rafi’i Utsman (Bandung: Pustaka, ).
Sucipto, Hery. Ensiklopedia Tokoh Islam: Dari Abu Bakar hingga Nasr dan
      Qardhawi. (Jakarta: Hikmah, 2003).
Wafi, Ali Abd Wahid. Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah
Akhmad Thoha. (Jakarta: PT Grafiti Press, 1985).
 Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha,
 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.3, Desember 2009:329-346
2009/2010http://islamlib.com/id/artikel/ibn-khaldun-dan-sejumlah-observasinya. 15/01/2008.




[1] Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam: Dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi. (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 169.  
[2] Ibid., h.169
[3] Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.11.
[4] Al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Rafi’i Utsman (Bandung: Pustaka, ), h.8
[5] Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha. (Jakarta: PT Grafiti Press, 1985), h.47.
[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.838
[7] Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha, h.49.
[8] http://studiperadaban.blogspot.com/2010/01/sosiologi-kota.html
[9] Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, h.320.
[10] Khaldun, Muqaddimah, h.67-68
[12] Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.3, Desember 2009:329-346
[13] Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.3, Desember 2009:329-346
[14] Koes Ajiwidjajanto, sejarah kota-kota Islam. Fakultas Adab. 2009/2010. h 35
[15] Ibid, h 35
[16] Koes Ajiwidjajanto, sejarah kota-kota Islam. Fakultas Adab. 2009/2010. h 32
[17] Ibid. h 29

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORIOGRAFI KONTEMPORER DAN PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI

Santo Agustinus Filsafat Sejarah

ekonomi islam pada masa Abu Bakar