ulama sebagai kajian antropologis
BAB
I
PENDAHULUAN
Ulama secara
bahasa adalah dari kata alima yaitu
seseorang yang memilki ilmu yang luas. Didalam alquran surat alfathir dijelaskan
bahwa orang yang memiliki jiwa serta kemampuan dan potensi untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian dan akhlak
yang dapat menjaga hubungan dekatnya kepada Allah.
Kata-kata ulama
pada umumnya dan menurut lidah
masyarakat orang Indonesia lebih diidentikkan dengan kata-kata kyai namun pada
hakikaynya kedua makna ini sama yaitu orang yang mempunyai ilmu, bila kata-kata
ulama adalah orang-orang yang berilmu maka kyai juga memiliki makna yang sama
yaitu orang yang berilmu hal ini lumrah terjadi karena ulama berasal dari
bahasa arab sedangkan kyai produk lokal sehingga masarakat Indonesia pada
umumnya menganggap hal ini sama.
Ulama memiliki
kontribusi atau fungsi-fungsi yang besar tehadap kehidupan masayarakat baik itu
memelihara budaya lokal maupun budaya Islam hal ini dibultikan dengan giatnya
para ulam untuk menyiarkan agama Islam melalui tranfusi budaya lokal seperti
yang dilakukan oleh para ulama untuk menyiarkan agama Islam di nusantara. Namun
ulama juga tidak terlepas dari kehidupan berpolitik karena dengan politik juga
Islam juga bisa tersiar dengan baik.
Citra ulama
dimata masarakat sangatlah menonjol hal ini dibuktikan dari beberapa fakta yang
ada diantaranya adalah ulama sebagai konsultan dalam berbagai aspek kehidupan
hal ini terjadi karena memang ulamamemiliki sifat-sifat yang dibutuhkan oleh
kehidupan masarakat sehingga secara alamiah mereka akan mengangap bahwa ulam
adalah konsultan dalam kehidupan mereka.
Ulama merupakan
sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam berbagai hal, mereka dipandang
menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad dan sahabat.
Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi”
(Al-’ulama ’waratsah al-anbiya’).
Posisi mereka
dihormati dalam masyarakat. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam
berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek
kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada
kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari
sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki
pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian ahlak, para ulama bergerak pada
berbagai kegiatan sosial. Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan membahasnya
dalam bab II.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengartian
Ulama’
Ulama adalah
jamak dari kata ‘alimu.[1]
Yang berarti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap. Ulama
adalah seseorang yang memiliki kepribadian, dan akhlak yang dapat menjaga
hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau
dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk dan patuh
kepada-Nya. Tentang rumusan ulama dengan sifat-sifatnya, yaitu bahwa ulama
adalah hamba Allah yang berakhlak Qur’ani yang menjadi “waratsatul anbiya”
(pewaris para nai), “qaudah” (pemimpin dan panutan), khalifah, pengemban amanah
Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia.[2]
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas dan pengertian yang diketengahkan oleh beberapa
ulama antara lain Syeikh Muhammad Nawawi dari Tanahara Banten Jawa Barat dalam
kitabnya Syarah Asmaul Husna dan Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fizilalil Quran.
Maka musyawarah menetapkan pengertian ulama sebagai berikut: Ulama adalah hamba
Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan khasyatullah, mengenal Allah dengan
pengertian yang hakiki, pewaris nabi, pelita umat, dengan ilmu dan
bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang uswah hasanah dalam ketaqwaan
dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal shaleh.
Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut celaan dan tidak
mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
B.
Ciri-Ciri
Ulama’
Ulama’ adalah
pemersatu umat, bukan pemecah belah, teguh dan tegar dalam memperjuangkan dan
meninggikan Islam saat berjalan di jalan Allah.[3]
adapun Syarat-syarat atau kriteria serta ciri-ciri ulama adalah sebagai
berikut:
Keilmuan dan ketrampilan
1.
Memahami
al-Quran dan Sunnah Rasul serta ulumuddin lainnya.
2.
Memiliki
kemampuan memahami situasi dan kondisi serta mengantisipasi perkembangan
masyarakat dan da’wah Islam.
3.
Mampu
memimpin dan membimbing umat dalm melaksanakan kewajiban “hablum min Allah,
hablum min-annas dan hablum min al-alam”.
Pengabdian
1.
Mengabdikan
seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah SWT.
2.
Menjadi
pelindung, pembela dan pelayan umat (waliyul mukmin).
3.
Menunaikan
segenap tugas dan kewajibannya atas landasan iman dan taqwa kepada Allah SWT
dengan rasa penuh tanggung jawab.
Akhlak dan kepribadian
1.
Berakhlak
mulia, ikhlas, sabar, tawakkal, istiqamah.
2.
Berpikir
kritis, berjiwa dinamis, bijaksana dan lapang dada.[4]
C.
Peranan
Ulama Dalam Masyarakat
Pembahasan
tentang peranan ulama, dalam budaya Jawa, hampir tidak dapat dibedakan dengan
peranan kyai dalam masyarakat, karena dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa
seorang kyai pasti ulama namun seorang ulama belum tentu kyai. Sekiranya ulama
diartikan sebagai jabatan fungsional yang dipegang kyai, maka peran kyai
mempunyai peran ganda. Yaitu sebagai pemimpin pondok pesantren dan pemimppin
masyarakat[5]Menurut
Horikhosi seorang ulama dan kyai
menduduki status sosial sebagai kekuatan moral dan menyerukan kebajikan dalam masyarakat.[6]
Ulama’ sebagai
penerus dari Nabi memiliki peran dan tugas dalam memberikan pengajaran Islam
berdasarkan al-Qur'an, menjelaskan makna dalam ayat-ayat serta memberikan model peran bagi setiap
manusia. Jika menengok pada sejarah masuknya Islam di Indonesia tentu, akan
lebih di pahami bahwa para ulama memberikan kontribusi yang signifikan pada
Islam maupun bangsa Indonesia (Nusantara pada waktu itu), sebagaimana
dijelaskan oleh Uka Tjandrasasmita bahwa, Islam di sebarkan melalui enam
metode, yaitu, dengan cara perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian, politik. [7]Melihat
dari informasi diatas tentu dapat disimpulkan bahwa selain memperluas agama
Islam, para ulama juga berperan penting dalam mencerdaskan masyarakat. selain
itu ketika Belanda datang ke Indonesia, ulama juga memberi kontribusi banyak,
baik untuk Islam maupun Negara Indonesia, mulai dari mempertahankan aqidah
Islam sampai mempertahankan martabat Indonesia.[8]
Di Indonesia,
Ulama’ sebagai lembaga memiliki kecenderungan untuk dikelompokkan ke dalam
beberapa organisasi. Misalnya NU dan Muhammadiyah. Dalam hal ideologi umum dan
cara berpikir. Dalam hal skala geografis, ada Forum Silah Ulama al-rahim Jawa
Barat. Tipe lain dari Ulama’ adalah MUI (Bahasa Indonesia Majelis Ulama’) yang
berkembang dari organisasi nasional untuk skala lokal. Meskipun keanekaragaman
organisasi, Ulama’ memiliki peran yang sama, yaitu menyebarkan Islam.[9]
Menurut Abdul Qodir Djaelani secara
garis besar peran ulama’ di bagi menjadi tiga, antara lain, sebagai berikut:
1.
Menda’wahkan
dan menegakkan Islam serta membentuk kader penerus.
a.
Membina
persatuan dan kesatuan dalam menunaikan tugas-tugas dan kewajiban sebagai
seorang ulama.
2.
Pengkajian
Islam dan pengembangannya.
a.
Senantiasa
menggali ajaran al-Quran dan al-Sunnah.
b.
Menemukan
dan mengemukakan gagasan-gagasan baru yang islami untuk
memperbaiki/meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat.
3.
Perlindungan
dan pembelaan terhadap umat Islam.
a.
Mencintai
dan melindungi masyarakat.
b.
Memperjuangkan
dan membela kepentingan islam dan umat islam.
c.
Membela
dan melindungi Islam dan umat Islam dari setiap rong-rongan dan uasaha-usaha
pelunturan ajaran dari aqidah Islam.[10]
D.
Pandangan
Masyarakat Terhadap Ulama’
Dalam membahas
respon masyarakat terhadap ulama’, tentunya tidak bisa disamakan, antara respon
dalam masyarakat dahulu dengan masyakat saat ini, hal ini dapat dilihat dengan
jelas bahwa respon tersebut sudah mengalami pergeseran yang signifikan. Baik
dari segi fungsi maupun karisma ulama’ dahulu dengan ulama’ sekarang sangat
berbeda, dalam masyarakat dahulu ulama’adalah orang yang sangat di kagumi
masyarakat, di hormati serta disegani di berbagai kalangan seperti, Syekh Abdul
Qodir al-Jaelani sehingga beliau di juluki “Sulthonul Auliya’”,bahkan Syekh Abu
Danif al-Bagdadi dalam bukunya “Hilyatul Jalalah” menyanjung-nyangjung beliau. [11]
Tidak hanya itu,
ulama’ dahulu adalah pemikir politik, seperti Sunan Ampel, dia adalah pemikir
pendirian kerajaan Islam. Sebagaimana keterangan diatas dapat disimpulkan,
respon masyarakat terhadap ulama’ pada saat itu adalah sangat jelas bahwa
ulama’ sebagai seorang yang terhormat serta di agungkan karena kecakapannya
dalam berbagai hal dan kedekatannya dengan Allah.
Berbeda dengan
ulama’ mutaqoddimin, pandangan masyarakat terhadap ulama saat ini, menurut
masyarakat ulama’ saat ini justru banyak di kendalikan oleh pemerintahan atau
bahkan mementingkan kepentingan organisasi dari pada kemaslahatan umat, seperti
halnya fatwa MUI bahwa golput haram, yang sangat kontroversi di kalangan
masyarakat, hal tersebut mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
ulama’,karena dianggap suatu politik pemerintah lewat para ulama’.[12]
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pandangan tentang ulama’ sebagai
penerus para Nabi semakin rendah, selain karena hal diatas dikarenakan
masyarakat yang semakin lemah dalam pemahaman agama. Demikianlah pandangan
masyarakat terhadap ulama’.
E.
Studi-Studi
Tentang Kiai
Hampir semua studi tentang kiai yang dilakukan para sarjana asing maupun
dalam negeri terfokus pada kiai-kiai pesantren atau Nahdlatul Ulama (NU) secara
umum. Masih jarang ditemui studi yang secara khusus membahas peran kiai
kampung, kiai yang mengasuh sebuah mushalla atau langgar, atau masjid. Penting
dicatat disini bahwa studi-studi tentang kiai pesantren itupun dikatakan sangat
terlambat, karena baru marak pasca 1980-an. Sebelum dasawarsa itu, kiai
merupakan elit yang tidak diminati oleh para akademisi karena dianggap sebagai
kelompok yang menghambat perkembangan dan pembangunan masyarakat. Secara
politik kiai dianggap naif dan oportunis, secara administratif kiai dianggap
tidak mumpuni dan lemah. Para ahli lebih tertarik dengan tokoh-tokoh dan
gerakan ‘modern’ dalam islam seperti Muhammadiyah dah Masyumi.
Namun pada dekadi 1980-an, minat dan penelitian terhadap kiai, pesantren
dan NU meningkat tajam. Hal ini setidaknya disebabkan dua faktor. Pertama,
munculnya kritik dari Benedict R. O’G Anderson (1977), seorang ahli Indonesia
dari Amerika Serikat, yang menyayangkan sedikitnya pengetahuan kaum akademisi
tentang NU (dimana kiai menjadi bagian penting di dalamnya), padahal di sisi
lain, NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang
sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Kedua, masuk dan
munculnya Abdurrahman Wahid sejak tahun 1970-an ke dalam kajian-kajian dan
diskusi tentang Islam di Indonesia dengan mengenalkan NU menurut pandangan
‘orang dalam’.
1) Kiai Kampung
Keberadaan kiai kampung merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan politik yang sedang dibangun bangsa ini. Istilah ‘kiai kampung’
adalah kata yang digunakan untuk menunjuk salah satu dari dua macam kiai yang
ada dalam masyarakat kita, selain ada kiai sepuh dan sebangsanya, yaitu mereka
yang menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Lirboyo, Langitan,
Tebuireng dan sebagainya.
Kiai kampung seringkali dihadapkan kepada ‘keharusan’ menghadapi
penilaian-penilaian oleh kiai-kiai di level lebih atas tentang keadaan yang
dihadapi. Tetapi mereka juga harus mendengarkan pendapat orang-orang pinggiran,
rakyat kecil, maupun pihak-pihak lain yang tidak masuk ke lingkaran kekuasaan.
Dalam suasana adanya keadaan-keadaan yang saling bertentangan itu, kiai kampung
lebih sering mendengar pendapat mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan
itu. Sudah tentu ini merupakan pola hubungan timbal balik yang sehat antara
para kiai kampung dan rakyat yang mereka pimpin.[13]
2) Peran Kiai Kampung dalam Kehidupan Pedesaan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kiai kampung adalah kiai yang menjadi
pengasuh mushalla atau masjid (meski tidak semua kiai kampung pasti mengasuh
sebuah mushalla) yang menjadi pusat pendidikan agama Islam dan sekaligus
penanaman nilai-nilai kepada anak-anak dan remaja di desa bersangkutan. Dengan
perkataan lain, kiai kampung berperan sebagai penjaga transmisi pengetahuan
agama secara turun-temurun dan sekaligus memegang fungsi kepemimpinan simbolik.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat, peran kiai kampung juga mengalami
perubahan dan pergeseran. Namun pergeseran itu tidak mengalami perubahan secara
radikal fungsi-fungsi dasarnya di tengah kehidupan masyarakat desa yang terus
berjalan dinamis sampai saat ini.
Pengetahuan agamanya yang bersifat praktis ditempa dengan pergulatan
hidupnya berhadapan langsung dengan berbagai persoalan masyarakat membuat sikap
politik dan keagamaannya tidak pernah reaksioner, apalagi negatif. Setiap
persoalan tidak hanya dilihat secara normatif dalam perspektif fiqih, tetapi
juga dengan kebijaksanaan agar kreativitas dan perubahan tidak dinilai secara
hitam-putih dan diposisikan secara berhadapan dengan keadaan yang sudah
berjalan selama ini.
M. Hanif Dhakiri (2007) menuliskan, Secara umum, peran kiai kampung dalam
kehidupan masyarakat desa dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a) Pendidik Agama
Kiai merupakan padanan dari kata ulama. Karena itu, tugas dasar kiai adalah
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Pendidikan agama tidak
semata-mata mengajarkan agama kepada umat, tetapi juga menginternalisasikannya
ke dalam kehidupan kiai itu sendiri sehingga apa yang diajarkan atau diucapkan
untuk orang lain juga dilakukan untuk dirinya sendiri.
b) Penjaga Moral
Sebagai pendidik agama, kiai kampung otomatis menjadi penjaga moral
masyarakat pedesaan. Keberadaannya yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari
masyarakat pedesaan mengharuskannya berperilaku sebagai penjaga moral dan
berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
c) Sebagai Ahli Hikmah
Beberapa kiai kampung juga menjadi tokoh lokal yang menonjol karena
dianggap mempunya kelebihan dalam hal ilmu hikmah dimana ilmu ini berfungsi
sebagaisebagai konsultan berbagai
persoalan yang dihadapi. Misalnya ada orang tua yang anaknya selalu menangis
karena sakit perut atu sawanenen(dalam bahasa indonesia artinya kurang lebih
trauma) maka si kyai ini diminta untuk membacakan doa-doa supaya anak ini bisa
tenang dan mungkin juga tertidur.
d) Sebagai Pemimpin Komunitas
Sebagai pendidik agama Islam, penjaga moral masyarakat dan tempat
masyarakat meminta bantuan tentang berbagai persoalan kehidupannya, kiai kampung
menjadi semacam rujukan bagi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Disadari atau tidak dengan fungsi itu, kiai kampung bisa dikatakan sebagai
pemimpin komunitas yang terpilih secara ilmiah. Seorang kiai kampung menjadi
pemimpin tanpa rekayasa politik dan masyarakat menerima kepemimpinannya dengan
sukarela. Cntohnya saja pada zaman dahulu orangkalau ingin menanam padi
misalnya minta hari yang tepat untuk menanam padi pada sang kiyai.
e) Pembimbing untuk Perubahan
Kiai kampung juga berperan sebagai pemandu utama masyarakat menghadapi dan
melaksanakan perubahan. Salah satu kelebihan kiai kampung adalah sifat
pengajarannya yang menyeluruh meliputi semua aspek kehidupan praktis masyarakat
dan pengkayaan ruang batinnya dengan nilai-nilai dan karakter yang
dianjurkannya. Kecenderungan demikian menjadikan kiai kampung memiliki peran
penting dalam setiap perubahan masyarakat.
f) Peran Kiai dalam Kehidupan Politik
Di Indonesia, peran kiai dan ulama dalam politik juga cukup signifikan.
Geertz mencatat bahwa para kiai tidak saja berperan sebagai agen kebudayaan,
akan tetapi dalam perkembangannya mereka memainkan peran yang signifikan
sebagai pemimpin-pemimpin politik. Dalam kehidupan politik praksis misalnya,
akan mudah kita temukan kiai-kiai yang berperan menjadi Juru kampanye untuk
sebuah partai politik.
Dengan ajakan dan fatwa politik yang mereka sampaikan, para kiai berhasil
para jamaah di pesantren-pesantren mereka dan lapisan komunitas di sekitar
pesantren-pesantren untuk memberikan suara mereka pada partai tersebut. Ajakan
dan fatwa politik yang diserukan oleh para kiai dan ulama pesantren itu menjadi
faktor penentu bagi peningkatan perolehan suara partai politik dalam pemilu.
Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa peranan para kiai dan ulama dalam kampanye
politik untuk meningkatkan perolehan suara dalam konteks pemilu di Indonesia
adalah sangat penting dan strategis.[14]
Para kiai dan ulama adalah pemimpin nonformal sekaligus berperan sebagai
sosok pemimpin spiritual, dan posisi mereka sangat dekat dengan
kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin
masyarakat, para kiai dan ulama mempunyai jamaah, komunitas dan massa yang
diikat oleh hubungan keguyuban yang erat. Petuah-petuah mereka akan selalu
didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh para jamaah, komunitas dan massa yang
dipimpinnya.
3)
kyai
moderen
Pada pembahasan
ii saya tidak mengungkap banyak hal karena saya hany menganalisis terhadap fakta-fakta
yang ada misalnya dimedia-media cetak maupun elektronik banyak oramg yang
berpakaian sorban dan juga berpakaian kerudung/berjilbab dan menyuarakan materi
dakwah yang dilakukanya dengan penuh adegan fenomena seperti itu merupakan
dakwah yang dilakukan oleh kyai moderen dimana hal ini sangat berbeda dengan
kyai kampung yang kebanyakan berdakwah
di ponpes.
BAB III
PENUTUP
Dari berbagai aspek yang saya sebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa ulama
merupakan suatu figur penting dalam sistem tatanan masyarakat hal ini dapat
dilihat betapa pentingnya peranan ulama terhadap kehidupan masyarakat terlebih
dalam kehidupan spritual. Mereka para masarakat pada umumnya menganggap ulama
adalah konsultan dalam kehidupan mreka pada umumnya sehingga peran kyai
betul-betul penting dalam kehidupan masarakat.
Pada era globalisasi(era persaingan) ini peran ulama sangatlah penting,
bagaimana ulam disini adalah sebagai pakemnya(ulama sebagai benteng penanaman
aqidah) karena di era persaingan yang sangat bebas manusia pada umunya
menghalalkan segala cara mereka lupa terhadap kebudayaan Islam dimana Islam
mengajarkan suatu persaingan dengan cara yang baik dan benar maka disinilah
titik berat peran ulama terhadap pengaruh globalisasi.[15]
Dalam posisi ini ponpes sangatlah penting peranannya dalam mempertahankan
status quo dalam kehidupan beragama dimana ponpes disisni sebagai penjaga
tradisi. Kyai sebagai berperan sebagai mediator antara tradisi dengan
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Ma’sum, al-Amtsilatu
al-Tashrifiyah, Semarang: Pustaka al-Alawiyah, 2001
Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998.
Sukamto, Kepemimpinan
Kyai Dalam Pesantren, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999.
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999.
Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda,Jakarta: PT LP3ES, 1985
Abi Danif al-Bagdadi, Hilyatul Jalalah, yang di terjemahkan oleh Ibnu Sofyan dengan judul
“Keagungan Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani” ,Jombang: Darul Hikmah, 2009.
Muhtarom, reprodusi
ulama di ere globalisasi, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2005.
Hamdan daulany, dakwah
ditengah persoalan politik,
Yogyakarta: LESFI, 2001.
|
[2] Abdul
Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri
dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm.3
[3] Abdul
Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri
dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm.4
[10] Abdul
Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri
dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm .6.
[11] Abi
Danif al-Bagdadi, Hilyatul Jalalah, yang
di terjemahkan oleh Ibnu Sofyan dengan judul “Keagungan Syaikh Abdul Qodir
al-Jaelani” (Jombang: Darul Hikmah,
2009)
[12]http://apa-adanya.blogspot.com/search/label/Anthropologi
[13] Muhtarom,
reprodusi ulama di ere globalisasi(Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2005) Muhtarom, reprodusi
ulama di ere globalisasi(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2005). Hlm 244.
[14] Hamdan
daulany, dakwah ditengah persoalan
politik,(Yogyakarta: LESFI, 2001). Hlm 84.
Komentar
Posting Komentar