HISTORIOGRAFI KONTEMPORER DAN PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ERA REFORMASI
HISTORIOGRAFI
KONTEMPORER DAN PERKEMBANGAN
PARTAI POLITIK ERA
REFORMASI
Sejarah kontemporer dengan sebuah
kata kesederhanaan adalah sejarah kekinian dimana penulis masih hidup sezaman
dengan sejarah yamg ditulisnya dengan artian praktis dapat dimengerti bahwa
historiografi kontemporer
A.
HISTORIOGRAFI
KONTEMPORER
historiografi kontemporer adalah
sejarah masa kini atau lebih jelasnya adalah sejarah dimana penulis pada waktu tertentu. Sedangkan tujuan sejarah kontemporer adalah untuk membuat
konsep, kontekstualisasi dan historicise, untuk menjelaskan beberapa aspek masa
lalu atau untuk memberikan Pemahaman sejarah dan perkembangan saat ini.[1]
Didalam
gunakan sejarah masa lalu sebagai latar belakang masa sekarang. Dari segi lain,
semua karya-karya sejarah memuat informasi mengenai sejarah kontemporer
sedangkan semua historiografi kontemporer tidak berbeda dalam bentuk dan isinya
dengan sejarah umum. Dalam menulis sejarah pada masanya, ahli-ahli sejarah
muslim tidak dapat menghindarkan diri dari refleksi keinginan intelektual pada
masing-masing periode. Namun, demikian mereka tidak memberikan sumbangan khusus
kepada perkembangan bentuk dan isi historiografi lain yang dapat dirasakan
ekspresinya di dalam karya-karya serjarah umum. Oleh karena itu tidak banyak
yang dapat dikatakan sekitar penulisan sejarah kontemporer didalam Islam.[2]
untuk menggunakan konsep dan teori-teori untuk meningkatkan pemahaman mereka
tentang masalalu.
Terkait dengan
historiografi kontemporer ini disini saya akan menerangkan tentang perkembangan
partai politik diera reformasi yang saya akan memakai tolak ukur dimasa suatu
pemerintahan.
Pemerintahan
Habibie
Presiden
Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah
kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan
komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisa Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik
Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan
Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan
para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.[3]
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan
perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk
meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
a) Merekapitulasi
perbankan
b) Merekonstruksi
perekonomian Indonesia.
c) Melikuidasi
beberapa bank bermasalah.
d) Manaikan nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
e) Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era
reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang
transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di
bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah
bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan
pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut
larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.[4]
2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di
muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin
menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa
atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang
ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan
menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena
pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik
Indonesia.[5]
Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering
menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan
pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa
belum ada aturan hukum jelas.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan
bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang
unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Adanya undang – undang tersebut menunjukkan
bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun
sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan
dalam kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu
tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.
3. Masalah Dwifungsi ABRI
3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul
turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah
pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik. Setelah reformasi
dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara
bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh
adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan
Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri
dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI
pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.
4. Reformasi Bidang Hukum
4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang
hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang
dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi
hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena
reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang ditambakan
oleh masyarakat. Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi
hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan
jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama
pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks
maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap
kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. [6]
Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil,
bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari
masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau
memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya
demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.
5. Sidang Istimewa MPR
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi
Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang
Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat
Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang
dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar
menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih
terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil
dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan.[7]
6. Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena
pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang
sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta
rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari
pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu
pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang
tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga
undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1
Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu
antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta
kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk
berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang
politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112
partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian
banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan
umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik
diberlakukan dengan cukup ketat.Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh
sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri
dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik
peserta pemilihan umum.
Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi
kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan
aman. Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara
terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan
pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil
pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara
dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara
partai peserta pemilihan umum.
Pemerintahan
Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik
Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk
masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal
November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada
Agustus 2000.[8]
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses
demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di
samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga
menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku,
dan Papua.
Di Timor Barat,
masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal
dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia
mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang
semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan
Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000,
Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran
menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan
keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama
kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong
royong.[9]
Pemerintahan
Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil
sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya
telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi
besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh
lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang
mengguncang Sumatra. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara
pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan
mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Perkembangan Undang-undang Partai Politik di
Indonesia dalam Perspektif Demokratisasi di Era Reformasi.[10]
BAB III
Penutup
Simpulan
Dari
beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa historiografi kontemporer adalah
historiografi yang menerangkan sesuatu yang disebut kekinian tolak ukur dari
kekinian ini, maksud dari hal tersebut adalah bahwa historiografi adalah suatu
sejarah dimana penulisnya masih hidup sezaman dengan apa yang ditulis dalam
sejarah tersebut. Maka dari itu disini saya menerangkan tentang suatu perkembangan dari partai-partai politik
di era reformasi karena disini penulis masih sezaman dengan peristiwa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Umar, A. Muin. Historiografi Islam. (Yogyakarta:
Lembaga Penerbitan Ilmiah Fakultas Ushuluddin
IAIN
Sunan Kalijaga,) hal. 124
http://belajarprestasi.blogspot.com/2009/07/makalah-historiografi.htmlPosted by
fajar pratama at 00.12.
Sangat bagus ini, akan lebih menarik jika ditambah referensi dari Historiografi Kontemporer-nya Pak Azra..
BalasHapussyukron